Selasa, 21 Mei 2024

Percaya dan Taat: Pelajaran Iman dari Kisah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego

 Johannis Trisfant, MTh


Berikut adalah perbaikan kesalahan ketik pada dokumen:

 

Pendahuluan

           Sekelompok pria, yang baru saja meninggal dunia tiba di surga.

           Petrus melihat kepada mereka dan memberi perintah " semua pria, yang dikuasai istrinya selama hidup di dunia harap berdiri di sebelah kiri saya; sedangkan yang menguasai istrinya, berdiri di sebelah kanan saya

           Semua pria segera berdiri di sebelah kiri, kecuali satu orang.

           Petrus melihat pria kurus kering yang berdiri sendirian itu dan berkata, wah.engkau hebat. Engkaulah satu-satunya suami yang tidak dikuasai istri

           Maaf, kata pria kurus itu. Aku berdiri disini karena disuruh oleh istri saya

 

Ternyata semua pria-pria itu adalah pria yang takut akan istri. Sama istri saja takut, lalu bagaimana kalau mereka diuji seperti Sadrakh, Mesakh, Abednego?

 

Sadrakh, Mesakh dan Abednego tidak takut kepada raja Nebukadnezar yang memerintahkan mereka untuk menyembah patung yang dibuat oleh raja Babel ini.

 

Kita tahu bahwa raja Nebukadnezar membuat sebuah patung emas yang tingginya 27 meter dan lebarnya hampir 3 meter. Ukuran patung ini jelek, karena tinggi kurus. Patung ini kemungkinan berhubungan dengan agama mereka, sebab Nebukadnezar menyuruh menyembah patung tersebut.

 

Mungkin patung ini adalah patung Dewa Marduk. Nebukadnezar menyuruh menyembah patung ini demi mempersatukan seluruh wilayah kerajaannya, sebab jika semua satu agama, maka kerajaan akan lebih mudah dipersatukan.

 

Semua orang harus menyembah patung ini. Jika tidak menyembah mereka akan dihukum mati dengan cara dilemparkan ke dalam perapian yang menyala-nyala.

 

Tetapi ada beberapa orang Yahudi yang tidak mau menyembah patung yang dibuat oleh Nebukadnezar itu. Dan orang-orang Kasdim tidak suka dengan beberapa orang Yahudi ini.  Sehingga pada ayat 8 mereka kemudian melaporkannya kepada raja Nebukadnezar.

 

Kemungkinan mereka merasa iri hati dengan Sadrak, Mesakh dan Abednego bahkan benci kepada mereka karena mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

 

Orang-orang Kasdim ini memberikan tiga tuduhan kepada Sadrakh. Mesakh dan Abednego

Pertama, Sadrakh, Mesakh dan Abednego, tidak mengindahkan raja Nebukadnezar. Mereka dituduh seakan-akan tidak tahu membalas budi raja yang sudah memberikan mereka kedudukan tinggi dan kehormatan.

Tuduhan kedua, adalah, Sadrakh, Mesakh dan Abednego tidak memuja dan menyembah kepada Dewa Nebukadnezar, karena mereka setia kepada Tuhan.

 

Tentunya, ini yang diharapkan oleh orang-orang Kasdim, yang kesempatan menjatuhkan Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang mereka benci.

 

Demi Nebukadnezar mendengarkan hal ini, dia sangat murka. Sadrakh, Mesakh dan Abednego dibawa kepadanya.  Raja masih memberikan lagi kesempatan kepada ketiga orang Yahudi ini untuk menyembah patung yang telah didirikan oleh Nebukadnezar. Entah berapa kali mereka disuruh menyembah. Mungkin sampai beberapa kali disertai ancaman.

 

Ditambah lagi, Nebukadnezar menantang mereka dengan mengatakan bahwa Dewa manakah yang dapat menyelamatkan mereka dari tangannya.

 

Kalau kita yang menghadapi kondisi seperti ini, maka ini merupakan saat yang sangat sulit.

 

Kira-kira langkah apakah yang kita akan ambil ketika mendapatkan ancaman seperti ini? Apakah kita akan menyembah saja dan kemudian minta ampun kepada Tuhan?

 

Tetapi langkah seperti itu hanya akan menyelamatkan untuk sementara saja. Orang-orang yang iri hati pasti akan mengadukan lagi, jika melihat kita tidak menyembah patung itu secara rutin. Sebab penyembahan kepada patung itu bukan hanya sekali, tetapi setiap kali sangkakala berbunyi, mereka harus menyembahnya.

 

Selain itu, kegagalan iman ini yang sekali ini, akan bisa membuat kita gagal, pada kali berikutnya. Mungkin sekali, sekali saja menyembah patung, dan sekali saja diselamatkan dari maut dengan kompromi, akan menyeret iman kita dan meninggalkan Tuhan selama-lamanya.

 

Mencoba sekali-kali sangatlah tidak aman untuk iman kita. Misalnya, kita mengatakan ah.....hanya sekali saja, saya kompromi, dengan meminta pertolongan dukun. Sekali saja, bisa menjadi berkali-kali, sampai akhirnya kita meninggalkan Tuhan, atau menyembah Tuhan dan dukun.

 

Selain itu, Tuhan tidak pernah mengijinkan kita , menyembah kepada ilah lain, walaupun hanya sekali saja. Dia adalah Tuhan yang cemburu, yang sudah mengatakan :" jangan ada padamu allah lain dihadapanKu.

 

Sadrakh, Mesakh dan Abednego mengambil langkah yang tepat ketika mereka menolak menyembah patung yang dibuat Nebukadnezar. Menyembah patung itu tidak ada gunanya. Walaupun mereka menyembahnya, mereka belum tentu lepas dari bahaya. Orang-orang yang iri kepada mereka, akan terus mencari cara untuk menjatuhkan mereka.

 

Namun ketika Sadrakh, Mesakh dan Abednego menghadapi semua itu, Mereka tidaklah menghadapi persoalannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang saya utarakan tadi. Mana sempat mereka mempertimbangkan semua kemungkinan-kemungkinan itu, Mereka hanya menghadapi ancaman Nebukadnezar dengan iman yang diarahkan kepada Tuhan.

 

Bagaimanakah iman mereka itu. Kita mesti memperhatikan perkataan mereka ketika menjawab raja Nebukadnezar.

 

Dan 3:16-18  Lalu Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab raja Nebukadnezar: "Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini.  (17)  Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja;  (18)  tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."

 

Ada sepasang kalimat yang sangat indah yang diucapkan oleh Sadrakh, Mesakh dan Abednego.

 

Berikut adalah perbaikan kesalahan ketik pada teks yang Anda berikan:

 

Di ayat 17:

 

 _Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja;_

 

Artinya, mereka percaya sepenuhnya kepada kuasa Allah, yang sanggup melepaskan mereka dari perapian yang menyala-nyala.

 

Hal kedua yang indah dari iman mereka, adalah terdapat di dalam ayat 18,

 

_tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."_

 

Artinya, Mereka akan tetap taat sepenuhnya kepada kedaulatan Allah.

 

Jika kita memiliki kedua hal ini, maka ini akan membuat kerohanian kita seimbang.

 

Jika kita hanya memiliki bagian yang pertama saja, yakni percaya akan kuasa Allah yang sanggup melepaskan dari kesulitan, tetapi tidak ada penyerahan diri kepada kedaulatan Allah, maka kita bisa menjadi kecewa kepada Allah. Sebab tidak semua kehendak kita akan dijawab oleh Allah.

 

Kita tidak bisa memaksa Allah, melalui doa kita.

 

Iman kita mesti memiliki unsur kedua, yakni penyerahan. Jika Tuhan tidak melepaskan saya dari masalah ini, saya tetap akan percaya kepada Tuhan. Inilah iman yang sejati. Percaya kepada kuasa Tuhan dan menyerahkan diri kepada kedaulatan Tuhan.

 

Hadapilah setiap persoalan hidup dengan iman seperti ini, yakni percaya akan kuasa Allah dan taat kepada kehendak Tuhan.

 

Jangan pernah ragu akan kuasa Tuhan untuk menolong kita. Tidak ada masalah yang terlalu besar dan sulit diatasi oleh Tuhan kita. Namun pada saat yang sama, jika Tuhan tidak menghendakinya, taatlah kepada kehendaknya dan tetaplah beriman kepadaNya.

 

Kesaksian seorang ibu

 

Kanker darah.

 

*   timbul bercak-bercak merah

   

*   pikirnya DB

   

*   ternyata bukan

   

*   dokter menganjurkan periksa darah

   

*   akhirnya disuruh ke Singapura.

   

*   Trombosit sudah sangat rendah

   

*   Dokter di singapura mengatakan ini kanker darah dan harus cangkok tulang sumsum

   

*   Dia harus tinggal selama berbulan-bulan

   

*   Orang yang cangkok ini jarang yang bisa kembali pulang

   

*   Dia sudah memberi pesan kepada suaminya: kalau saya mati, kamu kawin lagi saja, asalkan dengan orang kristen

   

*   Dia kemudian didoakan oleh teman-teman gerejanya

   

*   Sembuh

   

 

Kuasa Tuhan dialaminya. Tetapi bagaimana jika ada orang Kristen yang tidak mengalami kuasa dan pertolongan Tuhan? Ada yang tetap sakit bahkan meninggal? Mereka harus memiliki iman: yakni ketaatan kepada kehendak Tuhan.

 

Jika tidak memiliki ketaatan, maka orang Kristen yang tidak mengalami mujizat Allah, akan bisa meninggalkan Tuhan.

 

*   Pdt. Anaknya sakit, kemudian mati.

   

*   Dia kemudian kecewa, dan tidak mau lagi melayani Tuhan

   

*   Masakan anak haji sembuh sedangkan anak saya mati

   

 

Pdt. ini percaya akan kuasa Tuhan tetapi tidak mau taat. Imannya tidak seimbang, dan akibatnya dia meninggalkan Tuhan

 

Namun ada juga yang tidak percaya akan kuasa Tuhan, tetapi dia akhirnya bisa menerima penderitaannya. Contohnya adalah rabbi Kushner

 

 

Berikut adalah perbaikan kesalahan ketik pada teks yang Anda berikan:

 

Seorang Rabi Harold Kushner menuliskan buku:" When Bad Things Happen to Good People", sebuah buku yang best seller

 

*   Dia menulis buku itu setelah melihat anak lelakinya berjuang melawan penyakit ketuaan yang dideritanya

   

*   Anaknya yang bernama Aaron, pada usia 1 tahun rambutnya mulai rontok

   

*   pada usia 8 tahun tidak lagi naik berat badannya.

   

*   Tubuh anaknya yg masih muda secara aneh menjadi tua dalam waktu singkat: botak, keriput dan lemah serta akhirnya meninggal

   

*   Dan akhirnya anaknya meninggal pada usia 14 tahun

   

*   Rabi ini merasa bahwa dirinya diperlakukan tidak adil oleh Tuhan.

   

*   Derita yang dialaminya sangat tidak masuk akal

   

*   Dirinya adalah seorang yang baik, dia selalu berbuat baik

   

*   Dan dibandingkan dengan orang lain, dia memiliki hidup keagamaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang sekitarnya.

   

*   Dalam bukunya dia menulis : bahwa dia telah belajar kasih Tuhan tetapi mempertanyakan kuasa Tuhan.

   

*   Ia percaya bahwa Tuhan baik, dan tidak suka melihat kita menderita, namun Tuhan tidak cukup kuasa untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di dunia ini, masalah seperti yang dialami oleh anaknya

   

 

Akhirnya, rabi ini bisa menerima kematian anaknya. Tetapi dengan pemahaman yang keliru. Dia mengatakan: kita harus memaafkan Tuhan dan tetap mencintai Tuhan. Tuhan itu tidak sempurna, terbatas, tidak memiliki kuasa.

 

Kerohanian rabi ini tidak stabil, karena dia tidak memiliki unsur pertama dari iman, yakni percaya kepada kuasa Allah.

 

Ketika anaknya tidak sembuh, dia menganggap bahwa Tuhan tidaklah berkuasa.

 

Sadrakh, Mesakh dan Abednego memiliki 2 unsur iman ini, yakni percaya akan kuasa Tuhan dan taat.

 

Jika Tuhan tidak melepaskan mereka dari bahaya, maka mereka tetap percaya. Mereka tidak ragu akan kuasa Tuhan dan tidak ragu akan kasih Tuhan

 

Ketika Nebukadnezar mendengarkan jawaban mereka, maka raja sangat murka. Di ayat 19, raja memberikan perintah agar perapian dibuat lebih panas, sampai 7 kali lipat. Angka ini jangan diartikan secara harfiah. Sebab bagaimana kita bisa mengukur bahwa panasnya sudah menjadi 3 kali lipat, atau 7 kali lipat. Tetapi maksud ayat ini, adalah api itu dibuat sangat panas, sepanas mungkin.

 

Dan setelah itu, Nebukadnezar memberikan perintah kepada tentaranya yang sangat kuat, untuk mengikat Sadrakh, Mesakh dan Abednego, maka segera ketiga orang ini diangkat untuk dicampakkan ke dalam api yang panas itu.

 

Cobalah membayangkan perasaan dari Sadrakh Mesakh dan Abednego. Mereka pasti mengira bahwa mereka akan binasa di dalam api tersebut. Mereka tidak diluputkan dari api yang panas. Mereka harus masuk ke dalam dapur api itu. Dalam Septuaginta, atau PL dalam bahasa Yunani, dituliskan bahwa ketika mereka akan dimasukkan ke dalam api yang panas, ketiga orang ini menyanyikan lagu pujian.

 

Namun terjadi sebuah keajaiban ketika mereka dilemparkan ke dalam api yang panas. Ternyata mereka tidak terbakar. Justru orang-orang yang mengangkat mereka lah yang terbakar. Dan bahkan di tengah-tengah mereka terlihat ada tambahan satu orang.

 

Jadi sekarang mereka bukan lagi bertiga di dalam api, melainkan sudah berempat. Siapakah orang ke empat yang dikatakan oleh Nebukadnezar yang rupanya seperti anak dewa? Beberapa penafsir mengatakan bahwa itu adalah Tuhan Yesus sendiri.

 

Kehadiran Tuhan Yesus dalam perapian yang menyala-nyala itu, sangat menghiburkan Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Terbukti bahwa Allah selalu memperhatikan dan menyertai mereka.

 

 

 

Berikut adalah perbaikan kesalahan ketik pada teks yang Anda berikan:

 

Sadrakh, Mesakh dan Abednego, tidak terbakar di dalam nyala api yang sangat panas itu. Agama katolik mengatakan, bahwa mereka tidak terbakar karena Tuhan mengirimkan angin berembun, sekeliling mereka, sehingga api tidak menyentuh mereka bahkan tidak menyakiti mereka.

 

Kita tidak tahu bagaimana caranya Tuhan menyelamatkan mereka dari api. Yang jelas adalah bahwa tubuh orang-orang ini tidak mempan oleh api, rambut tidak hangus bahkan jubah mereka pun tidak berubah, tidak terbakar.

 

Kita biasa menyaksikan di TV, atraksi, orang menusuk dirinya atau berjalan di atas bara api. Ketika orang itu menusuk dirinya, dia bukan pakai baju. Kalau pakai baju pasti bajunya rusak. Demikian juga ketika berjalan di atas bara api, dia tidak pakai sendal. Kalau pakai sendal sendalnya pasti gosong.

 

Jadi dengan kuasa kegelapan, tubuh seseorang bisa tahan pisau dan bisa tahan api. Tetapi baju, sepatu tetap tidak akan tahan.

 

Tetapi berbeda dengan Sadrakh, Mesakh dan Abednego. Tubuh mereka bukan hanya kebal, melainkan pakaian mereka juga kebal api, padahal baju mereka bukanlah baju pemadam kebakaran yang kebal api.

 

Sadrakh Mesakh dan Abednego tidaklah dilepaskan dari api, tetapi melalui api mereka dilepaskan. Allah tidak menghindarkan mereka dari api yang panas. Allah mengizinkan mereka memasuki api yang panas. Tetapi di dalam api yang panas, itu mereka diluputkan dari kematian. Di dalam penderitaan itu mereka mengalami mujizat dan.

 

Betapa indahnya kebenaran ini. Allah terkadang tidak meluputkan kita dari sebuah masalah. Allah membiarkan kita masuk ke dalam masalah. Tetapi di dalam masalah itu, Allah memberikan kepada kita pertolongan dan kekuatan yang sangat besar.

 

Bapak, ibu yang sudah berada di dalam masalah yang berat saat ini, ingatlah akan kebenaran ini. Bahwa di dalam masalah kita Tuhan Yesus tetap menyertai diri kita.

 

Penyertaan Tuhan akan semakin terasa ketika kita berada di dalam penderitaan oleh karena iman dan kesetiaan kita.

 

Tuhan dimuliakan lewat kesetiaan Sadrakh, Mesakh dan Abednego.  Nebukadnezar, sangat terkesan dengan keberanian mereka dan keluputan mereka. Ini membuat umat Yahudi boleh bebas berbakti kepada Allah.

 

Nama Tuhan banyak yang dipermalukan karena orang Kristen tidak punya iman. Seandainya orang Kristen lebih berani dalam menyatakan imannya, maka nama Tuhan akan semakin dipermuliakan.

 

Biarlah kita yang menjadi orang-orang Kristen yang seperti ini, berani menyatakan iman percaya kita.

 

Tatkala kita menghadapi masalah, nyatakanlah kepada orang sekitar kita bahwa kita percaya dan taat kepada Kristus apapun yang terjadi dalam hidup kita.


 Johannis Trisfant, MTh

Sabtu, 18 Mei 2024

KASIH YANG AKTIF (MATIUS 5:43-48)


Pdt. Johannis Trisfant

 

Mat 5:43-48  Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu.  (44)  Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.  (45)  Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.  (46)  Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?  (47)  Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?  (48)  Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."

 

C.G Montefiore, seorang sarjana Yahudi menyebut perikop ini sebagai  bagian yang sentral dan paling terkenal dari seluruh kotbah di bukit.  Bagian ini penuh dengan etika kristiani yang praktis. Orang yang sangat jarang ke gereja pun tahu akan kebenaran-kebenaran ini dan mereka sering mempermalukan orang kristen yang rajin ke gereja tetapi tidak memiliki kasih

 

Istilah ”kamu telah mendengar firman”  mungkin lebih baik diterjemahkan dengan: ”kamu telah mendengar tradisi.” Hal yang ditentang oleh Tuhan Yesus bukanlah Alkitab atau firman Allah melainkan tradisi atau perintah-perintah lisan yang diberikan kepada “nenek moyang”. Perintah-perintah  itu diajarkan oleh ahli-ahli Taurat di sinagoge-sinagoge.

 

Apakah yang diajarkan oleh para rabi dalam tradisi tradisi mereka? Mereka mengajarkan:” kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (5:43). Ini merupakan pemerkosaan hukum yang tiada taranya. Mereka telah menyelewengkan firman Allah yang tertulis dalam Imamat 19:18.

 

Imamat 19:18 berbunyi seperti ini Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.

 

Para rabi ini menafsirkan bahwa yang dilarang dalam Im 19:18 adalah jangan menuntut balas dan menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsa. Menurut mereka hukum itu tidak menyatakan apa-apa mengenai musuh atau orang-orang asing. Jadi saya  boleh membenci musuh saya. Sedangkan mengasihi sesama adalah mengasihi keluarga, teman-teman sebangsa.

 

Itulah sebabnya, perintah dalam Imamat 19:18 mereka tafsirkan: kasihilah sesamamu dan bencilah musuhmu. Mereka mengabaikan perintah dalam Im  19:34 

 

Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.

 

Dan mereka juga tidak mau memperhatikan bahwa ada perintah lain yang mengatur hubungan dengan musuh, misalnya:”

 

Ams  25:21  Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air.

 

Tuhan Yesus menentang tradisi-tradisi yang telah menyelewengkan firman Tuhan.

 

Tuhan mengatakan:” Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

 

Kasihilan musuhmu seharusnya terungkap dalam perbuatan-perbuatan kita, dalam ucapan-ucapan kita dan dalam doa-doa kita.

 

  1. Kasih yang sejati, termasuk kepada musuh bukan hanya sebuah perasaan saja, melainkan memberikan sesuatu, pertolongan bahkan pengorbanan kepada musuh kita.

 

    • Dostoyevsky, seorang pengarang besar Rusia mengatakan:” kasih dalam kenyataan itu lebih dahsyat daripada kasih dalam khayalan.”

 

    • Kalau musuh kita berusaha merugikan diri kita dan bahkan berniat mencelakakan diri kita, maka itu artinya saya harus berusaha supaya musuh saya itu jangan sampai mengalami kerugian ataupun kecelakaan.

 

    • Etika kristen ini diajarkan Tuhan Yesus kepada kita, bukanlah hal yang berada di awan-awan.

 

    • Sebabnya adalah kita sendiri sudah mengalami hal yang serupa itu dari Tuhan Yesus.

 

    • Ketika kita masih seteru, Tuhan Yesus mati untuk mendamaikan diri kita dengan Allah. (Rom 5:10).

 

    • Tuhan Yesus telah memberikan kepada kita kebaikan, walaupun kita berbuat jahat kepadaNya.

 

    • Jika Ia mengorbankan diriNya bagi musuh-musuhNya, demikian juga kita harus mengorbankan diri kita bagi musuh-musuh kita.

 

  1. Mengasihi musuh bukan hanya melalui perbuatan, tetapi juga melalui kata-kata.

 

    • Bila musuh kita menyumpahi kita supaya  celaka, maka kita harus membalasnya dengan mengatakan ”semoga Allah menurunkan berkat dari Sorga untuknya.”
    •  Bagi pedagang, kita mungkin seringkali disumpahi oleh orang yang jengkal dengan kita.
    • Mungkin dia mengatakan:’ mudah-mudahan suatu hari kamu bangkrut, atau mudah-mudahan tokomu terbakar.
    • Jangan membalas, dengan kata-kata kutukan:” mudah-mudahan, kamunya yang terbakar. Tetapi balaslah dengan mengatakan:” mudah-mudahan tokomu laris dan kiranya Tuhan memberkati mu.
    • Saya yakin suasana hati saudara akan berbeda jikalau membalas kutukan dnegan berkat.
    • 1Pe 3:9  dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat

 

  1. Kata-kata berkat untuk musuh saudara bukan hanya diucapkan kepadanya, melainkan ucapkanlah itu juga kepada Allah.

 

    • Dengan kata lain:” DOAKANLAH MUSUHMU. Dalam Ayat 44 dituliskan, berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
    • Chrysostomus: ”kewajiban untuk berdoa bagi musuh-musuh kita sebagai puncak pengendalian diri kita yang tertinggi”.
    • Doa untuk musuh merupakan puncak kasih yang tertinggi.
    • Bonhoefer:” inilah perintah yang tertinggi.”.
    • Melalui doa kita menemui musuh kita, berdiri disampingnya dan memohon berkat untuknya kepada Allah.
    • Melalui doa kasih kita kepada musuh yang kita benci dapat ditingkatkan.
    • Memang sulit bagi kita berdoa bagi musuh kita jikalau kita tidak mengasihinya. Namun jika kita memaksakan diri untuk mulai berdoa bagi musuh kita, maka doa itu akan meningkatkan kasih kita kepadanya.
    • Jikalau saudara terus berdoa untuk musuh saudara, maka saudara pasti akan melihat bahwa akhirnya saudara bisa mengasihinya.
    • Kita harus mulai berdoa bagi musuh kita, walaupun saudara belum bisa mengasihinya.
    • Jika sdr melakukan ini, maka sdr akan mengalami terobosan kasih.
    • Kasih itu akan muncul, mungkin mula-mula seperti hujan. Awalnya hanya rintik-rintik, tetapi lama-kelamaan akan menjadi hujan kasih yang deras.

 

Mengasihi musuh berbeda dengan mengasihi keluarga, atau pacar, atau teman dekat.

 

Kasih kita kepada keluarga, teman, atau pacar datang dengan sendirinya. Kita tidak perlu mengusahakan kasih itu. Itu muncul dari hati. Tetapi mengasihi musuh tidak bisa timbul sendiri dari hati. 

 

Kasih kepada musuh harus diusahakan. Kasih kepada musuh adalah hasil daripada kehendak, bukan hasil daripada perasaan. Kasih kepada muush bukanlah sesuatu yang alamiah akan muncul. Karena tidak mungkin kita akan secara alamiah mengasihi musuh. Kasih kepada musuh kita lakukan dengan kesengajaan.

 

Kita mesti membedakan antara mengasihi dan menyukai seseorang. Kita menyukai atau menyayangi beberapa orang dan tidak memiliki perasaan yang sama terhadap orang lain.

Penting untuk kita ketahui bahwa rasa suka yang alamiah ini bukanlah dosa ataupun suatu kebajikan.

  • Sama halnya, misalnya, saudara menyukai jengkol, tetapi saya tidak suka. Apakah saya berdosa karena tidak suka jengkol? Tentunya tidak.
  • Atau misalnya, saya menyukai steak, dan saudara tidak suka steak. Apakah saudara berdosa karena tidak menyukai steak? Tentunya juga tidak.
  • Rasa suka atau tidak suka bukan dosa, itu merupakan sebuah fakta.
  • Memang apa yang selanjutnya kita lakukan dengan perasaan itu bisa menjadi dosa atau kebajikan. Misalnya sdr tidak suka dengan orang itu, kemudian sdr berharap dia celaka, dia stroke, dia mati. Nah ini yang menjadi dosa.
  • Yang jelas, kita tidak mungkin memaksakan diri kita menyukai jengkol yang kita tidak suka.

 

Sama halnya bagaimana mungkin saya bisa memaksakan diri menyukai orang itu, padahal kenyataannya dia tidak menyenangkan. Bagaimana mungkin, saya menganggap orang itu tidak terlalu jahat, padahal dia memang sangat jahat.

 

Mengasihi tidak berarti saya harus menyukainya. Bagaimana mungkin, saya mengatakan, dia orang yang sangat menyenangkan, padahal kenyataannya tidak menyenangkan dan saya tidak suka dengan caranya, gayanya, omongannya, perbuatannya. 

 

Namun walaupun saya tidak suka dengannya, saya tetap bisa mengasihinya. Kita mengasihi orangnya dan tidak menyukai perbuatannya. Kita bisa mengasihinya dengan cara mengharapkan yang baik untuknya., berharap bahwa dia tidaklah terus menerus jahat, berharap agar dia bisa berubah, berharap agar dia diberkati oleh Tuhan.

 

Itulah yang dimaksud oleh Alkitab dengan mengasihi sesamamu, mengasihi musuhmu, yakni mengharapkan yang baik untuknya.

 

Mengasihi musuh atau sesama bukan dengan cara mengatakan bahwa orang itu menyenangkan padahal kenyataannya tidak menyenangkan.

  • Tetapi mengasihi berarti mendoakan dirinya. Inilah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ketika berada di atas kayu salib, mendoakan orang-orang yang tidak menyenangkan, yang penuh dengan kebencian, yang penuh dengan dosa.
  • Mengasihi berarti mengharapkan hal-hal yang baik dialami oleh sesama kita bahkan musuh kita. 

 

Hal ini juga diajarkan dalam Perjanjian Lama.

 

”Apabila engkau melihat lembu musuhmu atau keledainya yang sesat, maka segeralah kaukembalikan binatang itu. Apabila engkau melihat rebah keledai musuhmu karena berat bebannya, maka janganlah engkau enggan menolongnya. Haruslah engkau rela menolong dia dengan membongkar muatan keledainya. Kel 23:4,5.”

 

Tuhan Yesus juga mengajarkan mengenai hal ini dalam kotbah di bukit

Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Mat 5:43,44  .

 

Dan di dalam Injil Luk 6:27 Tuhan Yesus berkata:”  Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;

 

demikian juga dalam Luk 6:35  Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan.

 

Seperti inilah mengasihi musuh. Walaupun saudara tidak suka dengannya,.  Saudara harus melakukan kebaikan untuknya.

 

Saudara  tidak perlu menunggu sampai rasa suka itu timbul untuk melakukan kebaikan. Mengasihi itu bukan soal perasaan suka atau tidak suka. Mengasihi adalah masalah kehendak. Lakukan perbuatan baik untuk musuhmu, doakan dirinya.

 

Itulah kasih. Rasa suka akan timbul dikemudian hari, setelah kita berulang-ulang melakukan kebaikan kepada orang yang kita tidak sukai.

 

Selama kita hidup dengan prinsip-prinsip dunia kita tidak akan bisa mengasihi musuh kita dengan perbuatan, perkataan dan doa.  Dunia ini hanya mengajar kita untuk mengabaikan musuh kita, dan  membalas dendam terhadap musuh kita.  Hanya kerajaan Allah yang dapat memberikan kepada kita motivasi yang kuat untuk mengasihi musuh. 

Ketika kita mengasihi musuh, maka itu membuktikan bahwa diri kita adalah anak Allah.

 

Matius 5:45  Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. 

 

Bapa Sorgawi baik kepada semua orang. Kasih ilahi yang umum diberikan kepada semua orang, sama rata, baik itu untuk orang jahat maupun bagi orang benar.

 

Matahari tidaklah bersinar secara alamiah, tetapi Allah lah yang membuatnya terbit setiap pagi. Matahari bersinar ataupun hujan turun merupakan kehendak Bapa.

 

Bapa surgawi menerbitkan matahariNya untuk menyinari orang yang baik dan yang jahat. Dia juga menurunkan hujannya untuk orang yang benar dan yang tidak benar.

 

Rabbi Yoshua bin Nehemia, sering bertanya seperti ini: ”Pernahkah engkau melihat hujan yang hanya jatuh pada ladang orang baik dan tidak pada ladang orang jahat? Pernahkah engkau melihat matahari hanya bersinar pada bangsa Israel, yang benar dan tidak, pada bangsa lain yang tidak benar?  Allah menyinarkan matahariNya, baik kepada bangsa Israel maupun kepada bangsa-bangsa lain, karena Allah itu baik kepada semua orang dan bangsa.

 

Banyak guru Yahudi sangat tersentuh dengan kebaikan Allah yang tidak membeda-bedakan orang jahat dan orang baik.

 

Ada sebuah cerita dikalangan para rabi Yahudi, mengenai hancurnya tentara Mesir di laut Teberau.

  • Ketika itu, bangsa Mesir mengejar bangsa Israel dan kemudian Allah menenggelamkan bangsa Mesir, sedangkan bangsa Israel diselematkan oleh Allah.
  • Setelah bangsa Mesir itu tenggelam, lalu para malaikat pun menyanyikan nyanyian kemenangan.
  • Namun setelah Allah mendengarkan nyanyian para malaikat itu, Tuhan bukannya senang.
  • Malahan dengan sedih  Tuhan mengatakan :” Hasil kerja tanganKu tenggelam di laut, namun engkau menyanyi dengan sukacita dihadapanKu. 

 

Begitu besar kasih Allah kepada ciptaanNya, sehingga Dia tidak pernah merasa senang kalau ada ciptaan tanganNya yang mengalami kehancuran. Seperti inilah kasih Allah itu.

 

Di dalam Dia ada kebajikan bagi semua orang, termasuk bagi orang-orang jahat.

 

Kita harus memiliki kasih yang seperti itu. Itu menjadi sebuah bukti bahwa kita adalah anak-anak Bapa yang di sorga.

 

Kita harus rajin melakukan kasih yang seperti ini.

 

Bukan supaya kita menjadi anak Allah, tetapi karena diri kita adalah anggota kerajaan Allah, sehingga sangat penting buat kita melakukan kasih Bapa yang aktif.

 

 

Kita harus mengasihi seperti Allah, bukan seperti manusia karena kita adalah anak Allah.

 

Manusia hanya mengasihi orang yang mengasihi dirinya. Jika kita mengasihi seperti manusia maka kita sama saja dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah.  Matius 5:46 menuliskan,

 

(46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? 

 

(47)  Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? 

 

Saudara perhatikan, bahwa pemungut cukai juga bisa mengasihi. Dan orang yang tidak mengenal Allah juga bisa memberi salam hangat.

 

Namun mereka hanya mengasihi dan memberi salam kepada orang-orang yang mengasihi diri mereka atau yang menjadi saudara mereka. 

 

Tidak ada yang hebat dengan kasih mereka.

 

Pemungut cukai hanya bisa mengasihi orang yang rajin membayar pajak. Tetapi mereka yang menghindar dari pajak, akan dibenci oleh mereka.

 

Orang-orang yang tidak mengenal Allah bisa memberi salam hangat kepada papa, mama, adik, kakak, atau terman-teman akrab mereka. Tetapi mereka tidak akan memberikan salam hangat, bahkan tidak akan menoleh kepada orang yang telah menyakiti hati mereka.

 

Seperti inikah yang saudara lakukan? Jikalau kita seperti ini, maka Tuhan Yesus memberikan pertanyaan di dalam ayat 47: ”apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain?” Apakah bedanya kita sebagai anak-anak Allah dengan mereka yang tidak mengenal Allah.

 

Tidak cukup kalau orang kristen hanya menyerupai orang-orang bukan kristen. Kita dipanggil untuk melampaui mereka dalam hal kebajikan.

 

Hidup keagamaan kita harus lebih benar dari orang-orang Farisi dan kasih kita harus lebih besar dari orang-orang yang tidak mengenal Allah.

 

Bonhoefer mengatakan : ”yang membuat orang kristen berbeda dari manusia-manusia biasa adalah kekhususannya, lain dari yang lain, yang luar biasa, yang melebihi, yang melampaui.

 

Kita bukanlah manusia biasa. Orang non kristen hidup dalam kewajaran, yakni mengasihi orang yang mengasihi mereka. Sedangkan orang kristen hidup melampui kewajaran, yakni mengasihi musuh. Ini merupakan tabiat ilahi.

 

Alfred Plummer mengatakan:

 

”membalas kebaikan dengan kejahatan adalah tabiat Iblis, membalas kebaikan dengan kebaikan adalah tabiat manusiawi, membalas kejahatan dengan kebaikan adalah tabiat ilahi.

 

Dunia ini adalah dunia yang suka membalas. Tabiat Non Kristen adalah tabiat membalas.

 

Kalau kamu jahat kepada saya, maka saya juga akan membalasnya dengan kejahatan. Sebaliknya, kalau kamu baik kepada saya, saya juga akan membalasnya dengan kebaikan.

 

Jadi balas dendam dan balas budi adalah tabiat duniawi. Akan tetapi tabiat ini tidak berlaku dalam kerajaan Allah.

 

Tabiat seperti itu adalah perilaku orang-orang berdosa, perilaku orang-orang kafir dan pemungut cukai.

 

Tetapi kita mesti lebih dari itu. Kita bukan hanya memberikan pipi kiri kita untuk ditampar, melainkan juga berusaha mengasihi orang yang telah menampar diri kita.

รจ Inilah lebihnya kasih kristen. 

 

Kasih kita tidaklah ditentukan oleh kecantikan ataupun daya tarik obyeknya. Saudara mengasihi secara aktif, bukan menunggu untuk dikasihi. Kasih kita tidaklah hanya ditujukan kepada mereka yang dapat membalas kasih kita. Kasih kita diberikan dengan sebuah pemahaman bahwa Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita.

 

 Kemudian Tuhan Yesus menutup ajarannya tentang kasih ini dengan mengatakan :’

 

 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."

 

Tuhan Yesus hendak mengajarkan bahwa umat Allah harus menyontoh Allah dan bukan menyontoh manusia.

 

Konsep bahwa umat Allah harus menyontoh Allah bukanlah konsep yang baru.

  • Di dalam PL,  secara khusus dalam kitab Imamat, lebih kurang terdapat lima kali perintah seperti ini:” Akulah Tuhan Allahmu, haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus. ( Im 11:44,45;  19:2;  20:7,26 ).
  • Namun disini dalam Perjanjian Baru ini, Kristus memanggil kita bukan untuk kudus, melainkan untuk menjadi sempurna.

Maksud Tuhan Yesus memanggil kita untuk sempurna, sama seperti Bapa yang di sorga adalah sempurna, bukan berarti bahwa kita dituntut untuk hidup kudus tanpa dosa.

  • Alasannya adalah kita masih membutuhkan doa Bapa Kami yang berbunyi, Ampunilah kami akan kesalahan kami. Kita masih bisa saja berbuat dosa.

 

Maksud Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus sempurna, adalah sebuah kesempurnaan yang berkaitan dengan kasih. Karena konteks ayat ini berbicara mengenai kasih.

  • Hendaklah kamu sempurna di dalam kasih seperti Bapa, yang mengasihi semua orang.

 

Kata Yunani untuk sempurna adalah teleios.

  • Binatang yang dianggap cocok untuk korban bagi Allah, yaitu binatang yang tanpa cacat dan cela disebut teleios.
  • Orang yang telah mencapai kedewasaannya secara penuh disebut teleios, artinya orang itu tidak lagi muda atau setengah dewasa.
      • Contohnya saya: sudah tidak muda lagi, tetapi sudah dewasa. Ini disebut teleios (sempurna).
  • Seorang mahasiswa yang telah mencapai tarap pengetahuan yang matang mengenai bidang studinya, disebut teleios; artinya ia bukanlah mahasiswa pemulaan yang sama sekali belum memiliki pemahaman sama sekali tentang hal tersebut.
      • Mahasiswa yang teleios (matang), bukan mahasiswa tahun pertama atau tahun kedua, tetapi mahasiswa yang sudah berada di tingkat akhir. Sudah berada di tahun ke empat.
      • Kalau mahasiswa yang sudah 8 tahun di kampusnya tidak lulus, lulus bukan matang, tetapi sudah busuk. 

 

Dengan kata lain, bagi orang Yunani, kesempurnaan adalah keberfungsian.

 

Sesuatu disebut sempurna kalau sesuatu itu sepenuhnya berfungsi sesuai dengan tujuan yang terkandung di dalam rencana, pola dan pembuatannya.

 

Sesuatu disebut teleios , kalau sesuatu itu sepenuhnya berfungsi sesuai dengan tujuannya yang asli.

  • Misalnya, suatu hari, di rumah kita ada skrup yang kendor dan kita ingin mengencangkannya.
  • Kita lalu mencari obeng, tetapi obengnya hilang.
  • Lalu kemudian kita pergi membeli obeng.
  • Kita membeli obeng yang kira-kira cocok dengan skrup yang akan dikencangkan.
  • Setelah sampai di rumah, kita mengenakan obeng tadi ke skrup tadi dan ternyata cocok dan pas, sehingga skrupnya kokoh kembali.
  • Nah.......obeng tadi disebut teleios atau sempurna, karena obengnya tadi benar-benar memenuhi maksud dan tujuan saya membelinya.
  • Obeng itu sudah berfungsi seperti yang saya maksudkan.
  • Walaupun obeng tadi, warnanya kurang pas, tetapi dia sudah berfungsi sesuai dengan yang saya maksudkan.

 

Orang kristen disebut teleios (sempurna) seperti Bapa yang sempurna, jika sudah berfungsi seperti yang Bapa maksudkan, yakni menyatakan kasih kepada orang yang memusuhi saya, kepada orang yang jahat dan kepada semua orang.

 

ILUSTRASI

 

Seorang wanita berkulit hitam yang telah renta dengan pelahan bangkit berdiri di suatu ruang pengadilan di Afrika Selatan.

  • Umurnya kira-kira 70, di wajahnya tergores penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun.

 

Di depan, di kursi terdakwa, duduk Mr. Van der Broek, ia telah dinyatakan bersalah telah membunuh anak laki-laki dan suami wanita itu.

 

Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu datang ke rumah wanita itu.

  • Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar tubuhnya.
  • Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya.

 

Dua tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya.

 

Kemudian, van der Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai.

  • Ia melihat suaminya diikat dan disiksa.
  • Mereka memaksa suaminya berdiri di tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin.
  • Kata-kata terakhir yang didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, “Bapa, ampunilah mereka.”

 

Belum lama berselang, Mr. Van den Broek ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya untuk menentukan hukumannya.

 

Ketika wanita itu berdiri, hakim bertanya, “Jadi, apa yang Anda inginkan? Apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah menghabisi keluarga Anda?”

 

Wanita itu menjawab, “Saya menginginkan tiga hal.

  • Pertama, saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan debunya untuk menguburkannya secara terhormat.”
  • Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Suami dan anak saya adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada dalam diri saya.”
  • “Dan, akhirnya,” ia berkata, “permintaan saya yang ketiga. Saya ingin Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus mati untuk mengampuni.
  • Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh karena itu, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya ke depan hingga saya dapat membawa Mr. Van den Broek ke dalam pelukan saya dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya maafkan.”

 

Ketika petugas pengadilan membawa wanita tua itu ke depan, Mr. Van den Broek sangat terharu dengan apa yang didengarnya hingga pingsan.

 

Kemudian, mereka yang berada di gedung pengadilan – teman, keluarga, dan tetangga – korban penindasan dan ketidakadilan serupa – berdiri dan bernyanyi "Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me. I once was lost, but now I'm found. 'Twas blind, but now I see.

 

Wanita yang memberikan kasih melalui perkataan, dan perbuatan ini, kita sebut teleios. Dia sudah memenuhi maksud Tuhan menjadikannya sebagai manusia baru yang berbeda dari dunia ini, yang lebih dari dunia ini.

 

Kiranya kitapun , boleh menjadi teleios, sempurna dalam kasih, lebih dari dunia ini, memiliki tabiat ilahi dan bukan tabiat manusiawi. Amin

 

 

Pdt. Johannis Trisfant