Kamis, 19 Februari 2009

PUTUS ASA (Ayub 6:8-9)

PUTUS ASA (Ayub 6:8-9)


 

Dalam bukunya Le Suicide (1987) Durkheim merumuskan dan menguraikan secara gamblang tiga tipe bunuh diri yaitu bunuh diri egoistis, bunuh diri altruistis dan bunuh diri anomis. Penulis mencoba mengadaptasikan gagasan Durkheim dalam ranah sosial Indonesia.

Bunuh diri egoistis terutama disebabkan oleh egoisme yang tinggi pada orang yang bersangkutan. Egoisme adalah sikap individu yang tidak berintegrasi dengan grupnya, kelompoknya, kumpulannya, kumpulan agama dan sebagainya. Kalaupun ia berada dalam sebuah grup ia tidak total berada di dalamnya. Hidupnya tertutup untuk orang lain. Ia mengasingkan diri. Ia terutama memikirkan dan mengusahakan kebutuhannya sendiri. Tujuan hidupnya demi kepentingan dirinya sendiri.

Orang yang egoismenya tinggi begini ketika mengalami krisis tidak bisa menerima bantuan moral dari grupnya. Ia sendirian, tanpa relasi dan berada di luar grupnya. Kesendirian dan kesepiannya tak teratasi. Dunia menjadi gelap. Ia dengan mudah bisa terjerumus oleh sikapnya yang sudah egois untuk mengakhiri hidupnya. Orang yang egois cenderung untuk melihat segala sesuatu dari ukurannya sendiri, tanpa memandang dunia yang ternyata tidak hanya seluas daun kelor.

Bunuh diri altruistis dipahami sebagai kebalikan dari bunuh diri egoistis. Individu terlalu berlebihan dalam integrasi dengan grup atau kelompoknya hingga di luar itu ia tidak memiliki identitas. Kelompoknya adalah identitasnya. Pengintegrasian yang berlebihan biasanya berdimensi memandang hidup di luar grup atau dalam pertentangan dengan grup sebagai tidak berharga. Dalam konteks ini Durkheim mengambil contoh konkret orang yang suka mati syahid daripada menyangkal agamanya dan para prajurit dan perwira yang berani mati gugur demi keselamatan nusa dan bangsa. Esprit de corps kuat! Kalau seorang anggota, yang berintegrasi kuat dengan grupnya, mengalami suatu hal yang membuat hidupnya dengan hormat tidak mungkin lagi di dalam grup, ia akan lebih cenderung mengakhirinya.

Bunuh diri akibat anomi. Anomi atau normlessness adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang biasa memotivasi dan mengarahkan perilakunya sudah tidak berpengaruh. Adapun penyebab yang sering dijumpai yaitu musibah dalam bentuk apapun. Kehadiran musibah menghantam cita-cita, tujuan dan norma hidupnya sehingga ia mengalami kekosongan hidup. Hidup terasa tidak berharga. Pada kontek inilah, di Indonesia kasus bunuh diri meningkat tajam sehingga orang rela bunuh diri dengan membakar diri, gantung diri, minum racun dan sebagainya. Banyak orang kehilangan cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya.

Ayub mungkin mengalami keadaan seperti ini. Dia mengalami kekosongan hidup, hidupnya terasa tidak berharga. Namun kondisi ini tidak sampai membuat dirinya bunuh diri.

Dan yang terakhir: suasana hati jangan diremehkan. Sebab kalau sedang dalam kondisi sangat buruk, seseorang bisa mengakhiri nyawanya sendiri. Aktivitas enzim di dalam pikiran manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Kondisi Suasana hati Ayub sangatlah parah. Kondisinya yang sudah menderita semakin diperberat oleh sahabat-sahabatnya yang menuduh dia berdosa sehingga mengalami penderitaan tersebut. Namun sekali lagi, suasana hatinya yang buruk tidak membuat ayub mengakhiri hidupnya.

Ketika ayub mengucapkan kalimat dalam ayat 8,9 , Ayub tidaklah bermaksud untuk bunuh diri. Dia tidaklah seperti Saul yang membunuh dirinya dalam peperangan karena tidak mau dipermainkan oleh musuh. Ayub juga tidak seperti Ahitofel yang menggantung dirinya. 2Sa 17:23

Jikalau Ayub hendak mati karena dia mengalami depressi maka kasusnya tidak ada bedanya dengan ahitofel. Persoalan Ayub bukanlah depresi karena penyakit dan juga bukan dukacita yang dalam. Dia bukan sedang menentang Allah. Dia hanya mengakui bahwa hidupnya itu berada di tangan Allah baik itu mati maupun hidup. Jika dia harus mati dan ini merupakan keinginannya yang paling dalam, maka kematin itu haruslah dikehendaki dan sesuai waktunya Allah. Allah yang telah memberikan Ayub hidup, maka haruslah Allah sendiri yang mengakhirinya, bukan Ayub yang mengakhiri hidupnya.

Kita tahu bahwa sebelumnya, Ayub tidak pernah meminta sesuatu untuk dirinya. Pada waktu Ayub kehilangan seluruh harta bendanya dan kehilangan 10 anak, Ayub tidak meminta sesuatu pun kepada Allah. Ayub hanya berdoa seperti ini:" Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"(1:21). Dia telah menerima apa yang baik dari Allah dan dia juga mau menerima yang buruk. (2:10). Di dalam Ayub pasal 3, Ayub menyatakan sia-sianya berharap dan oleh akrena itu, dia tidak mengharapkan apa-apa. TETAPI sekarang dalam Ayub 6:8-10 dia meminta sesuatu untuk dirinya. Di ayat 8, ayub mengatakan : Ah, kiranya terkabul permintaanku dan Allah memberi apa yang kuharapkan! Apakah yang dia minta? Ayub meminta kematian. Ayat 9, dia berdoa seperti ini: Kiranya Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia melepaskan tangan-Nya dan menghabisi nyawaku! Ayub meminta kematian mungkin karena dengan kematian itu akan melepaskan dia dari penderitaannya. Banyak orang yang ketika menderita kanker meminta agar Tuhan segera mengambil nyawanya, karena dia sudah tidak tahan lagi dengan kesakitannya dan penderitaannya. Namun kematian disini juga berarti betapa sia-sianya dan putus asanya situsai yang sedang dihadapi oleh Ayub. Kematian merupakan pengharapannya ayub. Ayat 8 dia mengatakan : Kiranya Allah memberi apa yang kuharapkan. Berbeda dengan Elifas. Elifas mengharapkan agar Ayub menerima masa depan yang baik kalau Ayub takut akan Allah (Ayub 4:6). Tetapi kalau tidak, maka akan menerima kemalangan.

Ayub hanya mengharapkan kematiannya segera tiba.

Mengapa dia meminta mati kepada Allah? Apakah Ayub akhirnya mengikut nasehat istrinya yang mengatakan :" kutukilah Allahmu dan matilah ? (2:9). Akhirnya memang sama, yakni kematian. Tetapi disini Ayub tidak mau mati dan terpisah dari Allah selama-lamanya. ayub minta mati karena dia tidak lagi melihat adanya kemungkinan hidup dengan Allah. Dan karena sudah tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup dengan Allah, maka dia ingin mati di tangan Allah. Ayub merasa bahwa dirinya ditentang Allah demikian hebat. Jadi untuk apa dia hidup lagi? kalau manusia yang menentang dirinya, dia tetap akan bertahan, sebab Allah dipihaknya. Namun kalau Allah yang sendiri melawan dirinya, maka untuk apa dia hidup. Ayub mengatakan ini dadalam 6:4 Job 6:4 Karena anak panah dari Yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan racunnya diisap oleh jiwaku; kedahsyatan Allah seperti pasukan melawan aku.

Apakah memang betul bahwa Allah sudah tidak mengasihi Ayub lagi dan menentang Ayub? Kita sebagai pembaca mengetahui peristiwanya dengan jelas. Kita mengetahui penyebab dari penderitaan Ayub di dalam pasal 1 dan 2.

Seandainya dia mengetahui apa yang terjadi di sorga, apa yang menjadi rencana Allah, maka Ayub pasti diam dan menjalani penderitaannya sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayub pasti tidak akan putus asa hidup di dunia ini. Ayub pasti akan menaruh terus pengharapannya kepada Allah.

Kita tahu peristiwa di sorga dari pasal 1 dan 2. Allah memuji Ayub yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Tetapi Iblis meragukan dan menantang keyakinan Allah itu dengan mengatakan "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu." Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya."
Ayub
1:8-12

Allah yakin dengan kesetiaan Ayub, makanya Allah mengijinkan Iblis mencobai Ayub. Hal seperti ini tidak diketahui oleh Ayub. Allah juga sudah membatasi pencobaan Iblis itu yakni tubuh Ayub tidak boleh dijamah. Namun hal ini pun tidak diketahui oleh Ayub.

Ternyata keyakinan Allah itu benar. Iblis kalah. Ayub tetap tidak mengutuki Allah walaupun harta bendanya hilang dan anak-anaknya mati. Iblis kemudian datang kembali menghadap Allah untuk kedua kalinya dalam Ayub 2. . Tuhan bertanya kepada Iblis.

"Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan." Iblis menjawab:: "Kulit ganti kulit! Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah tulang dan dagingnya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.". Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya." Job 2:3-6

Dan kita tahu bahwa kemudian Iblis menimpakan Ayub dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke batu kepalanya. Mengapa Tuhan kembali mengijinkan Iblis menjamah Ayub? Karena Allah tetap yakin bahwa Ayub akan setia walaupun tubuhnya diberi penyakit yang berat. Keyakinan Allah ini ternyata tidak salah, karena memang Ayub tetap setia.

Semua peristiwa di di sorga ini tidaklah diketahui oleh Ayub. Seandainya Ayub tahu, mungkin dia akan diam dan tidak komplain kepada Allah atas peederitaannya. Ayub akan tetap percaya bahwa Allah itu mengasihinya dan tidak membencinya.

Terkadang kita juga mengalami suasana hati seperti Ayub. Kita merasa putus asa karena seolah-olah Tuhan itu tidak mengasihi kita dan membiarkan kita terus berada dalam keadaaan susah, sakit dan bermasalah. Kita memang tidak sampai bunuh diri. Namun kondisi putus asa ini saja sudah merupakan sebuah dosa. Putus asa itu dosa karena kita tidak mengetahui apa yang menjadi rencana Allah dalam hidup kita. Kita tidak mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi di sorga. Ketika kita mengalami sesuatu yang buruk, kita tidaklah mengerti rencna Allah menginjinkan hal tersebut terjadi. Terlalu terburu-buru mengatakan bawha Tuhan meninggalkan kita, bahwa Tuhan tidak mengasihi kita. Dan terlalu gegabah menuding bahwa Allah itu tidak menolong kita. dan kita kemudian berhak untuk putus harapan.

Putus asa itu buruk. Buruk bukan hanya secara teologis, tetapi juga secara psikologis.

Sebab bila sikap mental kita adalah "Sudahlah, takluk, tunduk, dan menyerah sajalah!", maka seluruh tubuh Anda pun akan lunglai dan litoy serta merta, tidak terpicu untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, bila spirit atau semangat Anda berkutat menolak untuk menyerah, maka seluruh kelenjar, hormon, syaraf, dan otot di tubuh Anda pun, akan bersikap laksana sepasukan tentara yang mendengar suara terompet, segera mengambil sikap siaga perang.
Dr. Curt Richter, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins, AS, melakukan eksperimen dengan dua ekor tikus. Tikus pertama dicemplungkannya ke sebuah bak tertutup yang telah diisi dengan air hangat, untuk dipantau reaksinya. Sebab pintar berenang, baru setelah 60 jam tikus ini tenggelam sebab kelelahan.

Berbeda dengan tikus kedua. Tikus ini terlebih dahulu telah digenggam erat-erat dengan tangan beberapa menit, sampai berhenti menggelinjang. Tatkala dicemplungkan ke air, reaksinya berbeda. Hanya beberapa menit saja dengan lemah ia berusaha berenang, lalu tenggelam.

Richter menyimpulkan, bahwa tikus kedua ini-karena pengalamannya memberontak dari genggaman tangan yang sia-sia sebelumnya --, ia telah menyerah bahkan sebelum tubuhnya menyentuh air. Ia mati karena perasaan ketidak-berdayaannya.

Perasaan putus asa dan tidak berdaya bukan saja mengubah sikap kejiwaan, tetapi juga mengubah tingkat kesakitan yang dirasakan seseorang. Dengan cara-cara tertentu, batas toleransi seseorang terhadap rasa sakit, dapat ditingkatkan atau diturunkan sampai 45 persen.

Williamson, misalnya, bisa tahan tidak kedinginan di tengah suhu yang hanya 2 derajat Celsius, yaitu ketika ia sedang berusaha keras menolong kucing kesayangannya, yang tidak bisa turun dari pohon di pekarangan rumahnya. Namun ketika ia tak punya apa-apa untuk dikerjakan, suhu kamar duduknya yang 15 derajat pun sudah terasa menyiksa. Ia membebat kakinya dengan kaus tebal, lehernya dengan syal panjang, dan duduk dekat-dekat pendiangan.
ada istilah "mati sebelum mati" , sebagai akibat yang lebih lanjut dari perasaan takluk, menyerah dan tak berdaya. Orang bisa mengalami ini, ketika sedikit demi sedikit tetapi secara sistematis, diyakinkan bahwa ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan karena itu sebaiknya juga jangan mencoba berbuat apa-apa lagi.

Keadaan ini bisa berawal dengan maksud baik. Dengan sahabat atau kerabat yang datang untuk menjenguk dan bermaksud menghibur. "Sudah, berbaring sajalah. Kalau perlu apa-apa, panggil suster! Jangan dilakukan sendiri!". Atau, "Istirahat saja tenang-tenang di sini, ya! Jangan pikir apa-apa, nanti stress. Saya nanti akan bereskan segalanya untuk Anda!" Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!jagna makan ini, jangan makan itu. LAma kelamaan, orang ini akan mati sebelum ajal. Karena serba takut dan akhirnya putus asa dengan hidupnya.

Teolog besar asal Jerman, Juergen Moltmann, mengatakan, "Orang moderen cenderung melakukan pemisahan yang berlebih-lebihan antara "sehat" dan "sakit". "Sehat" didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja dan kemampuan untuk menikmati segala sesuatu.

Padahal, "sehat" yang sesungguhnya bukan itu. "Sehat" yang sejati adalah kemampuan untuk hidup, tapi juga kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan kesanggupan untuk menghadapi kematian. "Sehat" tidak terutama berhubungan dengan kondisi tubuh, melainkan kekuatan jiwa untuk mengatasi kondisi tubuh yang berubah-ubah."

Kalau hari ini, kondisi tubuh sdr tidak ada penyakit tetapi gampang putus asa, tidak punya kekuatan untuk menanggung penderitaan bahkan tidak sanggup menghadapi kematian, berarti sdr sedang SAKIT. Sebaliknya, walaupun hari ini sdr lemah terbatas, rentan,. sakit, banyak masalah, tetapi sanggup menanggung penderitaan dan sanggup untuk hidup dan sanggup untuk mati, maka sdr sehat.

Ayub, sehat atau sakit? Ayub sedang sakit. Dia putus asa dengan hidupnya. Dia tidak akan putus asa seandaianya saja dia mengerti apa yang terjadi di sorga mengenai dirinya. Biarlah kita selalu memandang kepada Tuhan, ektika ada masalah. Supaya kita tidaklah putus asa karena kita mengerti bahwa Allah sedang bekerja mmeberikan yang terbaik untuk kita.