Rabu, 30 Oktober 2024

Pengharapan: Jangkar Jiwa di Tengah Badai


https://youtu.be/JmBC-5s82PU

 

Pengharapan: Jangkar Jiwa di Tengah Badai

Kolose 1:5: "oleh karena pengharapan, yang disediakan bagi kamu di sorga. Tentang pengharapan itu telah lebih dahulu kamu dengar dalam firman kebenaran, yaitu Injil."

Paulus melanjutkan untaian syukurnya dengan mengaitkan iman dan kasih jemaat Kolose dengan pengharapan yang mereka miliki di dalam Kristus. Pengharapan ini bukanlah sekadar harapan kosong, melainkan jangkar jiwa yang kokoh, yang memberi mereka kekuatan dan arah di tengah badai kehidupan.

Pengharapan yang Tersedia di Sorga: Pengharapan ini bukanlah buatan manusia, melainkan anugerah Allah yang telah disediakan bagi kita di sorga. Ini adalah pengharapan akan kehidupan kekal, keselamatan yang sempurna, dan persekutuan yang tak terputus dengan Allah. Pengharapan ini memberikan perspektif kekal, mengingatkan kita bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara.

Sumber Iman dan Kasih: Pengharapan ini bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan menjadi sumber dan motivasi bagi iman dan kasih. Karena memiliki pengharapan yang teguh akan janji Allah, jemaat Kolose hidup dalam iman yang aktif kepada Kristus dan menyatakan kasih yang tulus kepada sesama.

Pengharapan yang Berakar pada Injil: Pengharapan ini bukanlah isapan jempol, melainkan berakar pada kebenaran Injil, yaitu berita tentang keselamatan melalui Yesus Kristus. Injil adalah dasar yang kokoh bagi pengharapan kita, yang menjamin bahwa janji Allah adalah ya dan amin.

Pengharapan yang Menyatukan: Pengharapan ini bukanlah milik pribadi, melainkan milik bersama semua orang percaya. Pengharapan yang sama akan kehidupan kekal menyatukan kita sebagai satu tubuh di dalam Kristus, mendorong kita untuk saling menguatkan dan mendukung dalam perjalanan iman.

Pengharapan yang Menguatkan: Jemaat Kolose hidup di tengah ancaman ajaran-ajaran sesat. Pengharapan yang teguh kepada Kristus dan janji-janji-Nya menjadi benteng pertahanan mereka, menjaga mereka dari pengaruh ajaran yang menyesatkan.

Refleksi:

·        Apakah pengharapan kita akan kehidupan kekal sungguh-sungguh menjadi jangkar jiwa kita, yang memberi kita kekuatan dan arah di tengah badai kehidupan?

·        Apakah pengharapan ini memotivasi kita untuk hidup dalam iman yang teguh kepada Kristus dan menyatakan kasih yang nyata kepada sesama?

·        Apakah kita berpegang teguh pada kebenaran Injil sebagai dasar pengharapan kita, menolak ajaran-ajaran yang menyesatkan dan menjauhkan kita dari Kristus?

Mari kita belajar dari jemaat Kolose, menjadikan pengharapan sebagai kekuatan pendorong dalam hidup kita. Kiranya pengharapan akan janji Allah yang mulia memampukan kita untuk hidup dalam iman, kasih, dan ketaatan, sambil menantikan dengan penuh sukacita kedatangan Kristus yang penuh kemuliaan.

 

Doa Respon

 

Ya Bapa Surgawi, terima kasih atas pengharapan mulia yang telah Engkau sediakan bagi kami di dalam Kristus. Kobarkanlah dalam hati kami pengharapan yang hidup akan janji-janji-Mu, sehingga kami teguh dalam iman, berkobar dalam kasih, dan setia menantikan kedatangan-Mu yang penuh kemuliaan. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

 

 

Johannis Trisfant

GKIm Ka Im Tong, Bandung

 

Selasa, 29 Oktober 2024

"Tiga Pilar Pelayanan Yesus: Kasih, Injil, dan Kesembuhan untuk Semua"


Mat 4:23  Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu. 

Matius 4:23 menyajikan gambaran yang menyeluruh tentang pelayanan Yesus di seluruh Galilea, yang menjadi cikal bakal karya-Nya di dunia. Di sini, kita melihat tiga elemen penting yang menjadi inti dari pelayanan-Nya: mengajar di sinagoga, memberitakan Injil Kerajaan Allah, dan menyembuhkan segala penyakit serta kelemahan. Ketiga aspek ini bukan hanya menunjukkan kepedulian Yesus terhadap kebutuhan fisik dan rohani masyarakat, tetapi juga menegaskan bahwa Kerajaan Allah telah hadir di tengah-tengah umat manusia melalui Dia. Dengan demikian, ayat ini merangkum misi dan visi Yesus secara jelas dan padat, serta menjadi titik tolak bagi keseluruhan Injil Matius yang berpusat pada karya penyelamatan-Nya.

Pertama, Yesus mengajar di sinagoga-sinagoga. Sinagoga-sinagoga pada masa itu adalah tempat utama untuk kegiatan keagamaan bagi umat Yahudi, tempat mereka mendengarkan pembacaan Kitab Suci dan menerima pengajaran dari para rabi. Dengan mengajar di sinagoga, Yesus memanfaatkan tempat yang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran. Namun, pengajaran-Nya berbeda dari para rabi yang hanya menjelaskan hukum-hukum Taurat. Yesus memberikan perspektif baru, memperkenalkan kasih dan kemurahan Allah serta menggambarkan visi Kerajaan-Nya. Contoh dari pengajaran-Nya dapat dilihat dalam Khotbah di Bukit (Matius 5–7), di mana Yesus menafsirkan ulang Hukum Taurat, memberikan makna yang lebih dalam dan menekankan pada sikap hati yang benar. Misalnya, dalam Sabda Bahagia, Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari kekayaan atau kehormatan, melainkan dari kemurnian hati dan kerendahan hati.

Lebih dari sekadar mengajarkan aturan atau hukum, Yesus membawa pengajaran yang memerdekakan dan memberi pengharapan. Ia mengungkapkan bahwa Allah bukanlah sosok yang jauh dan hanya tertarik pada ritual dan persembahan, tetapi adalah Bapa yang penuh kasih dan siap mengampuni. Pengajaran ini sangat kontras dengan apa yang selama ini diajarkan oleh para pemimpin agama, yang sering kali lebih fokus pada kewajiban ritual dan hukum-hukum yang ketat. Yesus mengajarkan bahwa hukum yang benar adalah hukum kasih dan pengampunan, yang memberi ruang bagi semua orang untuk datang mendekat kepada Allah tanpa merasa tertindas oleh beban hukum agama yang berat. Dengan demikian, Ia membuka jalan baru bagi pemahaman akan Kerajaan Allah, di mana hukum dan kasih saling melengkapi dan menghasilkan kehidupan yang utuh.

Kedua, selain mengajar, Yesus juga memberitakan Injil Kerajaan Allah. Istilah “Injil” di sini berarti kabar baik atau berita sukacita, dan kabar baik ini adalah tentang kehadiran Kerajaan Allah. Yesus menyampaikan bahwa Kerajaan Allah bukanlah kerajaan duniawi yang dibangun di atas kekuatan militer atau kekuasaan politik, tetapi adalah kerajaan rohani yang hadir di hati setiap orang yang menerima-Nya. Dengan memberitakan Injil Kerajaan Allah, Yesus mengundang orang-orang untuk bertobat dan percaya kepada-Nya sebagai jalan menuju keselamatan. Ia mengumumkan bahwa Kerajaan Allah telah dekat, dan ini adalah kabar baik bagi mereka yang hidup dalam penderitaan, ketidakadilan, dan ketertindasan. Kehadiran Kerajaan Allah menawarkan harapan baru bagi mereka yang sebelumnya merasa terabaikan atau terkekang oleh hukum-hukum agama yang keras dan tidak berbelas kasih.

Yesus tidak hanya memberitakan Injil dengan kata-kata, tetapi Ia juga menunjukkan kekuatan Kerajaan Allah melalui tindakan-tindakan nyata. Kehadiran Kerajaan ini tidak hanya memberikan keselamatan rohani, tetapi juga menyentuh kebutuhan fisik dan emosional manusia. Yesus mengajarkan bahwa kasih Allah melampaui batas-batas agama dan budaya, serta bahwa siapa pun yang datang kepada-Nya dengan hati yang percaya akan mengalami pemulihan dan keselamatan. Pesan ini sangat revolusioner, terutama bagi orang Yahudi yang hidup di bawah dominasi Romawi, karena mereka selama ini mendambakan seorang Mesias yang akan memimpin pemberontakan dan memulihkan kemerdekaan Israel secara politis. Namun, Yesus datang dengan membawa visi yang berbeda; Ia tidak datang untuk mendirikan kerajaan duniawi, melainkan Kerajaan Allah yang lebih agung dan kekal.

Ketiga, Yesus juga menyembuhkan segala penyakit dan kelemahan. Penyembuhan yang dilakukan Yesus adalah bukti nyata dari kasih dan belas kasihan-Nya, serta kuasa yang diberikan Allah kepada-Nya. Penyakit dan kelemahan adalah simbol dari kondisi manusia yang lemah dan rentan, yang membutuhkan pemulihan tidak hanya secara fisik tetapi juga rohani. Di tengah masyarakat yang cenderung mengucilkan mereka yang sakit atau lemah, Yesus justru menyambut mereka dan memberi perhatian penuh. Tindakan penyembuhan ini menunjukkan bahwa Kerajaan Allah bukan hanya berbicara tentang keselamatan di akhirat, tetapi juga pemulihan dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai kesempatan, Yesus menyembuhkan orang-orang yang sakit baik secara fisik maupun rohani, menunjukkan bahwa dalam Kerajaan Allah tidak ada tempat bagi penderitaan dan penyakit.

Kisah penyembuhan yang dicatat dalam Injil Matius menunjukkan bagaimana Yesus berurusan dengan berbagai jenis penyakit, seperti kebutaan, kelumpuhan, kerasukan setan, hingga penyakit mental. Dengan menyembuhkan mereka, Yesus menunjukkan bahwa dalam Kerajaan Allah, semua penderitaan ini akan berakhir, dan manusia akan dipulihkan secara utuh. Penyembuhan yang dilakukan Yesus juga menunjukkan bahwa kasih Allah tidak terbatas hanya pada orang Yahudi tetapi meluas ke semua orang, tanpa memandang status sosial atau latar belakang budaya. Yesus menyembuhkan setiap orang yang datang kepada-Nya, baik itu orang Yahudi maupun bukan, menunjukkan bahwa Ia adalah Juru Selamat bagi semua bangsa.

Penyembuhan yang Yesus lakukan tidak hanya memperlihatkan kuasa-Nya atas penyakit tetapi juga mengandung makna simbolis sebagai tanda dari pemulihan rohani. Di dalam masyarakat Yahudi pada masa itu, orang sakit sering dianggap tidak suci atau dikutuk karena dosa-dosa mereka atau keluarganya. Dengan menyembuhkan mereka, Yesus mengembalikan martabat dan menghapus stigma yang selama ini melekat pada mereka. Setiap penyembuhan adalah cerminan dari pemulihan jiwa manusia dari dosa, yang juga dipandang sebagai penyakit rohani. Yesus datang sebagai tabib agung yang tidak hanya mengobati luka-luka fisik tetapi juga menyembuhkan luka-luka jiwa yang tersembunyi, memulihkan hubungan manusia dengan Allah dan memberikan mereka kesempatan untuk hidup yang baru.

Secara keseluruhan, Matius 4:23 memberikan kita pemahaman yang mendalam tentang pelayanan Yesus yang holistik. Melalui pengajaran, pemberitaan Injil, dan penyembuhan, Yesus menunjukkan bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Ia mengajarkan tentang kasih dan kemurahan Allah, memberitakan kabar baik tentang keselamatan, dan menyembuhkan mereka yang sakit serta lemah. Tindakan-tindakan ini bukan hanya menunjukkan kuasa Yesus sebagai Mesias tetapi juga menyatakan visi Allah tentang kehidupan yang penuh dengan damai dan kebenaran di bawah pemerintahan-Nya. Yesus membawa terang bagi mereka yang hidup dalam kegelapan, mengubah kehidupan mereka yang menerima-Nya dan membawa harapan baru bagi dunia.

Melalui pelayanan-Nya, Yesus juga memberikan contoh bagi gereja dan umat-Nya dalam melanjutkan misi Kerajaan Allah. Gereja dipanggil untuk tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga menunjukkan kasih Allah melalui tindakan nyata seperti yang dicontohkan Yesus. Ketiga aspek pelayanan Yesus ini—mengajar, memberitakan Injil, dan menyembuhkan—merupakan fondasi yang penting bagi pelayanan gereja di dunia, yang harus mencerminkan kasih, belas kasihan, dan keadilan Allah.

Pelayanan Yesus yang meluas hingga ke Siria juga menggarisbawahi aspek universal dari Kerajaan Allah, yang tidak dibatasi oleh suku, bangsa, atau bahasa. Kasih dan keselamatan Allah bersifat inklusif, mengundang setiap orang untuk datang dan menerima kasih karunia yang disediakan melalui Yesus Kristus. Ini menjadi awal dari pernyataan bahwa Injil bukan hanya untuk orang Yahudi tetapi untuk semua bangsa, sebagai pemenuhan janji Allah kepada Abraham bahwa keturunannya akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa di bumi.

Dengan demikian, Matius 4:23 tidak hanya menjadi catatan historis tentang perjalanan Yesus di Galilea, tetapi juga membawa pesan yang relevan bagi setiap pengikut Kristus hingga saat ini. Ayat ini mengingatkan kita bahwa pelayanan Yesus adalah contoh hidup dari kasih Allah yang nyata dan penuh kuasa, yang bukan hanya mengajarkan tetapi juga memberi dan menyembuhkan. Sebagai murid-Nya, kita dipanggil untuk melanjutkan misi ini dengan memberitakan kabar baik, mengajarkan kebenaran, dan menjadi saluran kasih Allah bagi dunia yang penuh penderitaan, sehingga Kerajaan Allah dapat dirasakan dan dialami di tengah-tengah kita.

 

Berikut adalah beberapa aplikasi praktis dari Matius 4:23 yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

1.     Menyebarkan Nilai-Nilai Kerajaan Allah dalam Kehidupan Sehari-hari
Kita dapat menerapkan pengajaran Yesus dengan berbagi nilai kasih, kejujuran, dan kebenaran dalam lingkungan kerja atau komunitas. Misalnya, mengutamakan keadilan dalam mengambil keputusan, menghargai orang lain, dan menghindari perilaku yang merugikan sesama.

2.     Menghidupi Kabar Baik melalui Tindakan
Kabar baik tidak hanya disampaikan melalui kata-kata, tetapi juga melalui perbuatan. Kita bisa menolong mereka yang sedang mengalami kesulitan, mendengarkan mereka yang membutuhkan dukungan, atau mendoakan orang-orang yang sedang mengalami tantangan. Dengan demikian, kita menjadi saksi hidup bagi kasih Allah.

3.     Menjadi Pembawa Kesembuhan bagi Sesama
Seperti Yesus yang menyembuhkan orang-orang sakit, kita juga bisa “menyembuhkan” dengan memberikan penghiburan dan dukungan. Misalnya, mendampingi teman yang sedang menghadapi masalah, menyediakan waktu untuk mendengarkan, atau memberi dorongan bagi mereka yang patah semangat.

4.     Memperluas Lingkup Pergaulan dengan Kasih yang Universal
Yesus melayani semua orang tanpa membeda-bedakan. Kita bisa meniru hal ini dengan menerima dan menghormati orang-orang dari berbagai latar belakang, budaya, atau keyakinan. Misalnya, dengan membuka ruang diskusi yang ramah di lingkungan gereja atau komunitas untuk membangun hubungan yang inklusif.

5.     Melayani secara Utuh dalam Pelayanan Gereja
Pelayanan gereja bisa lebih menyeluruh dengan menyatukan aspek pengajaran, pemberitaan Injil, dan penyembuhan. Gereja dapat mengadakan kelas pembelajaran Alkitab, pelayanan sosial untuk mereka yang membutuhkan, serta konseling rohani bagi jemaat yang menghadapi tantangan hidup. Melalui pelayanan yang seimbang, kita lebih mencerminkan contoh pelayanan Yesus dan membawa berkat nyata bagi komunitas.

 

Kisah Nyata: Dokter Paul Brand dan Pelayanan kepada Penderita Kusta di India

Dr. Paul Brand adalah seorang dokter bedah ortopedi asal Inggris yang dikenal karena pelayanannya kepada penderita kusta di India. Pada pertengahan abad ke-20, penyakit kusta masih dianggap kutukan, dan para penderitanya dijauhi masyarakat. Dr. Brand melihat penderitaan mereka dan tergerak untuk mengabdikan hidupnya guna mengobati penyakit ini dan mengubah pandangan dunia tentang kusta. Melalui pelayanan dan penelitiannya, ia mengaplikasikan tiga elemen utama dari Matius 4:23: mengajar, memberitakan kabar baik, dan menyembuhkan.

  1. Mengajar melalui Edukasi tentang Penyakit Kusta
    Dr. Brand tidak hanya menangani pasien, tetapi juga mengajarkan staf medis, komunitas lokal, dan masyarakat luas tentang penyakit kusta. Sebelum kehadirannya, kusta dianggap sebagai penyakit kutukan yang tidak bisa diobati. Namun, Dr. Brand mengajarkan bahwa kusta adalah penyakit yang bisa dirawat dan tidak seburuk yang masyarakat kira. Melalui pengajaran ini, banyak orang mulai mengubah cara pandang mereka terhadap penderita kusta, dan hal ini membuka jalan bagi lebih banyak orang untuk menerima perawatan tanpa stigma.
  2. Memberitakan Kabar Baik Melalui Tindakan Kasih
    Dr. Brand percaya bahwa tindakan kasih adalah cara terbaik untuk menyampaikan kabar baik. Setiap hari, ia berinteraksi dengan pasien-pasien yang dikucilkan oleh masyarakat, menyapa mereka dengan penuh kasih, dan memberikan perawatan dengan hati yang tulus. Ketika ia memegang tangan para pasien atau memijat mereka dengan lembut, para pasien merasa dihargai dan diperlakukan sebagai manusia utuh. Banyak dari mereka yang belum pernah merasakan sentuhan manusia selama bertahun-tahun. Melalui perbuatan sederhana ini, Dr. Brand membawa kabar baik bahwa mereka adalah manusia berharga di mata Allah.
  3. Menyembuhkan Secara Fisik dan Emosional
    Selain memberikan perawatan medis, Dr. Brand juga membantu memulihkan harga diri para penderita kusta. Ia menciptakan teknik bedah inovatif untuk mengembalikan fungsi tangan dan kaki yang rusak akibat kusta. Penemuan-penemuan ini tidak hanya memperbaiki kondisi fisik para pasien tetapi juga mengembalikan kemandirian dan kepercayaan diri mereka. Melalui perawatan yang telaten, ia memberikan kesempatan bagi para pasien untuk hidup normal dan mandiri. Penyembuhan ini bukan hanya fisik tetapi juga emosional, karena banyak pasien yang pulih dari perasaan terasing dan mendapatkan kembali martabat mereka.
  4. Merangkul Orang Tanpa Memandang Latar Belakang
    Dr. Brand menerima semua orang yang datang kepadanya tanpa memandang latar belakang sosial atau kondisi fisik mereka. Di pusat kesehatan yang didirikannya, ia menerima pasien dari segala kalangan dengan kasih yang sama. Baginya, setiap orang layak menerima pengobatan dan cinta tanpa syarat. Ia tidak pernah membedakan pasiennya, dan cara ini membantu menghapus stigma kusta di masyarakat. Hal ini membuat banyak orang akhirnya berani mencari bantuan dan menerima perawatan.
  5. Pelayanan Utuh: Pengajaran, Pemberitaan, dan Penyembuhan
    Dr. Brand menggabungkan ketiga aspek pelayanan Yesus: mengajar, memberitakan, dan menyembuhkan. Ia tidak hanya mengobati tetapi juga mendidik dan memberdayakan pasien serta komunitasnya. Setiap aspek pelayanannya merupakan wujud kasih Kristus, yang membuat pasien merasa dihargai dan didukung. Melalui pelayanan yang utuh ini, ia berhasil mengubah persepsi masyarakat terhadap penderita kusta dan membangun harapan baru di hati mereka.

Kisah Dr. Paul Brand adalah contoh nyata dari aplikasi Matius 4:23, di mana kasih Kristus diwujudkan dalam tindakan medis dan pengabdian kepada mereka yang terlupakan. Pelayanannya tidak hanya membawa penyembuhan fisik tetapi juga merangkul dan memulihkan martabat manusia. Dr. Brand menunjukkan bahwa kasih Kristus tidak terbatas dan selalu mencari yang terabaikan, memberikan mereka harapan dan kehidupan baru.

Minggu, 27 Oktober 2024

Dasar yang Kokoh di Tengah Badai (Kolose 1:2:)


 

https://youtu.be/Zfta7Ns_hP8

 

Dasar yang Kokoh di Tengah Badai

Kolose 1:2: “Kepada orang-orang kudus dan saudara-saudara seiman di dalam Kristus yang ada di Kolose: Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Allah Bapa kita.”

Ayat yang sederhana ini, bagaikan sebuah batu fondasi, menjadi dasar yang kokoh bagi surat Paulus kepada jemaat di Kolose. Ia bukan hanya salam pembuka, melainkan sebuah deklarasi identitas, pengingat akan relasi, dan curahan berkat yang mempersiapkan jemaat untuk menghadapi badai ajaran sesat yang menerpa mereka.

Kita adalah Orang-orang Kudus: Paulus menyapa mereka sebagai "orang-orang kudus," bukan karena kesempurnaan mereka, melainkan karena anugerah Allah yang telah memisahkan mereka untuk tujuan-Nya yang kudus. Kita pun, yang telah menerima Kristus, dipanggil kudus, dibebaskan dari belenggu dosa dan dipersatukan dalam Kristus. Identitas ini menjadi kekuatan di tengah dunia yang terus menarik kita kembali ke dalam kegelapan. Kekudusan bukanlah hasil usaha kita, tetapi anugerah yang memampukan kita untuk hidup berbeda.

Kita adalah Saudara Seiman: Paulus mengingatkan mereka akan ikatan persaudaraan di dalam Kristus, yang melampaui perbedaan latar belakang dan status sosial. Di dalam Kristus, kita semua setara, dipersatukan oleh iman dan kasih. Komunitas ini menjadi tempat perlindungan dan dukungan, di mana kita saling menguatkan, mengasihi, dan bertumbuh bersama dalam iman. Mari kita rawat persaudaraan ini, saling melayani dan mengampuni, sebagaimana Kristus telah mengasihi kita.

Kita Diberkati dengan Kasih Karunia dan Damai Sejahtera: Kasih karunia Allah adalah fondasi keselamatan kita, pemberian cuma-cuma yang tak layak kita terima. Damai sejahtera-Nya, yang melampaui segala akal, memulihkan hubungan kita dengan Allah dan sesama. Di tengah badai kehidupan, kita dapat berpegang teguh pada kasih karunia dan damai sejahtera ini, yang menjadi sumber kekuatan dan pengharapan.

Allah Bapa Kita: Paulus mengingatkan bahwa Allah bukanlah sosok yang jauh dan tidak peduli, melainkan Bapa yang mengasihi dan memelihara anak-anak-Nya. Kita dapat datang kepada-Nya dengan penuh kepercayaan, memohon pertolongan dan bimbingan-Nya. Di dalam Dia, kita menemukan tempat berteduh yang aman, sumber kekuatan yang tak pernah habis.

Refleksi:

·       Apakah kita sungguh menyadari identitas kita sebagai orang-orang kudus, yang dipanggil untuk hidup berbeda dan memuliakan Allah?

·       Bagaimana kita memperlakukan saudara-saudari seiman kita? Apakah kita mengasihi dan mendukung mereka, atau membiarkan perbedaan memecah belah kita?

·       Apakah kita bersandar pada kasih karunia dan damai sejahtera Allah dalam menghadapi tantangan hidup?

·       Apakah kita datang kepada Allah sebagai Bapa kita, dengan hati yang terbuka dan penuh kepercayaan?

Salam pembuka Kolose 1:2 ini bukanlah sekadar kata-kata indah, melainkan dasar yang kokoh bagi iman dan kehidupan Kristen. Mari kita membangun hidup kita di atas fondasi ini, sehingga kita dapat teguh berdiri di tengah badai dan menjadi saksi Kristus bagi dunia.

 

Doa Respon

Ya Bapa, terima kasih atas anugerah kekudusan dan persaudaraan dalam Kristus. Curahkanlah kasih karunia dan damai sejahtera-Mu, agar kami hidup seturut panggilan-Mu, saling mengasihi, dan menjadi saksi-Mu yang teguh di tengah dunia. Amin.

 

 

 

Johannis Trisfant

GKIm Ka Im Tong, Bandung

 

Upah dosa adalah maut dan karunia Allah adalah hidup kekal

Jumat, 25 Oktober 2024

Melayani dengan Otoritas Ilahi: Meneladani Rasul Paulus dalam Kolose 1:1


https://youtu.be/l68kNuoi5Y8

Kolose  1:1  Dari Paulus, rasul Kristus Yesus, oleh kehendak Allah, dan Timotius saudara kita,

 

Kolose 1:1 bukan sekadar salam pembuka, melainkan fondasi teologis yang kuat bagi seluruh surat Paulus kepada jemaat Kolose. Melalui perkenalan diri yang singkat, Paulus menegaskan otoritasnya, memperkenalkan mitra pelayanannya, dan mempersiapkan jemaat untuk menerima pesan penting yang akan disampaikan.

Rasul Yesus Kristus oleh Kehendak Allah:

Paulus menekankan bahwa kerasulannya bukanlah hasil usaha atau ambisi pribadi, melainkan berasal dari "kehendak Allah." Ini menegaskan bahwa pesan yang dibawanya memiliki legitimasi ilahi dan bukan sekadar pendapat manusia. Kita diingatkan bahwa setiap pelayanan Kristen harus didasari panggilan dan kehendak Allah, bukan ambisi pribadi atau keinginan untuk dipuji manusia.

Berpusat pada Kristus:

Penyebutan "Rasul Yesus Kristus" menunjukkan bahwa fokus utama Paulus adalah memberitakan Injil Kristus. Ini penting karena jemaat Kolose menghadapi ajaran sesat yang berusaha menggeser Kristus dari posisi sentral. Mari kita senantiasa menjadikan Kristus sebagai pusat hidup dan pelayanan kita. Jangan biarkan ajaran atau filsafat lain menggeser posisi Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Kemitraan dalam Pelayanan (Timotius):

Paulus menyebut Timotius sebagai "saudara," menunjukkan semangat kerja sama dan mentoring dalam pelayanan. Ini juga menekankan nilai persaudaraan dan kesetaraan dalam tubuh Kristus. Mari kita belajar untuk bekerja sama dan saling mendukung dalam pelayanan, tanpa memandang perbedaan usia atau status. Kita semua adalah saudara-saudari dalam Kristus, dipanggil untuk melayani bersama-sama.

Kolose 1:1 bukan hanya salam pembuka, melainkan deklarasi yang kuat tentang otoritas Paulus dan fokus pelayanannya. Ini juga merupakan fondasi bagi seluruh isi surat Kolose, yang menekankan supremasi Kristus dan pentingnya hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Mari kita belajar dari teladan Paulus, mendasari pelayanan kita pada panggilan Allah dan senantiasa berpusat pada Kristus.

 

Doa Respon

 

Ya Bapa, terima kasih atas teladan Rasul Paulus yang melayani berdasarkan kehendak-Mu dan berpusat pada Kristus. Mampukan kami untuk melayani dengan setia sesuai panggilan-Mu, menjadikan Kristus sebagai pusat hidup dan pelayanan kami, serta membangun persekutuan yang erat dalam tubuh Kristus. Amin.

 

 

Johannis Trisfant

GKIm Ka Im Tong, Bandung

 

"Identitas Agung sebagai Anak-Anak Allah: Perjalanan Menuju Kemuliaan dan Keserupaan dengan Kristus"

 

Diringkas oleh Johannis Trisfant, MTh,

dari Martyn Lloyd-Jones, 1 John vol 3

 

1 Yoh 3:2  Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.

Teks ini menggambarkan sebuah refleksi mendalam tentang makna dan implikasi dari menjadi anak-anak Allah menurut surat Rasul Yohanes, khususnya dari 1 Yohanes 3:1-2. Saat merenungkan teks ini, ada perasaan kerendahan hati yang muncul, karena menyadari betapa agung dan mulianya pesan yang terkandung di dalamnya. Siapa pun yang dihadapkan pada tugas untuk mengkhotbahkan atau menjelaskan teks ini akan merasa tidak layak dan sangat kecil dibandingkan dengan kebesaran firman Tuhan yang sedang mereka hadapi. Ada rasa kagum dan takjub yang secara alami timbul saat memikirkan pernyataan seperti ini, dan tidak jarang seseorang merasa takut untuk berbicara tentangnya. Ada kekhawatiran bahwa segala upaya untuk menjelaskan teks ini bisa berisiko mengurangi kemuliaan atau keagungannya, atau bahkan mungkin melemahkan kekuatannya bagi mereka yang mendengarnya.

Meskipun demikian, teks ini begitu penting dan kaya akan makna sehingga tidak mungkin untuk mengabaikannya. Rasul Yohanes menulis dengan bahasa yang penuh kuasa, dan siapa pun yang berurusan dengan teks ini harus melakukan kekerasan terhadap Kitab Suci jika mereka tidak berusaha untuk memahami dan menafsirkannya dengan sungguh-sungguh. Namun, emosi yang dihasilkan oleh kata-kata ini tidak boleh hanya berhenti pada perasaan sentimental atau emosional semata. Sebaliknya, ada kebutuhan untuk menganalisis pernyataan ini dengan hati-hati dan mencoba menangkap kekayaan dan keajaibannya dengan pikiran yang jernih. Teks ini menawarkan wawasan luar biasa tentang identitas orang percaya dan kehidupan Kristen di dunia ini.

Merenungkan teks seperti ini mengungkapkan betapa besar kehormatan menjadi seorang pengkhotbah Kristen. Menghabiskan waktu untuk mempelajari, memahami, dan merenungkan ayat ini adalah pengalaman yang tidak hanya memperkaya tetapi juga merendahkan diri. Ada perasaan syukur yang mendalam kepada Tuhan karena telah diberi kesempatan untuk mengeksplorasi makna firman-Nya yang begitu dalam. Teks ini adalah salah satu deskripsi paling agung dalam Perjanjian Baru mengenai kehidupan Kristen dan bagaimana kita, sebagai orang percaya, harus memandang diri kita sendiri.

Kehidupan Kristen: Pandangan yang Lebih Besar

Ada beberapa hal penting yang langsung muncul dari teks ini. Salah satunya adalah betapa seringnya pandangan kita tentang diri kita sebagai orang Kristen sangat tidak memadai. Ketika membaca pernyataan Yohanes, dan kemudian membandingkannya dengan cara kita biasanya memandang diri kita dan hidup kita sebagai orang Kristen di dunia ini, kita akan segera menyadari betapa terbatas dan dangkal pandangan kita tentang identitas kita. Richard Baxter, seorang penulis himne yang hebat, pernah menulis dalam himnenya tentang bagaimana hidup dan mati seharusnya dilihat oleh orang percaya. Dia menulis bahwa hidup panjang atau pendek tidak seharusnya menjadi kekhawatiran utama kita, karena yang lebih penting adalah melayani dan mengasihi Tuhan. Himne itu mengekspresikan sikap seseorang yang sepenuhnya menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, siap menghadapi apa pun yang terjadi karena mengetahui bahwa kemuliaan kekal menanti.

Tetapi, dapatkah kita benar-benar mengatakan kata-kata tersebut dari hati? Apakah pandangan seperti ini yang kita pegang mengenai hidup kita sebagai orang Kristen? Apakah kita melihat hidup dan mati dengan cara yang sama? Apakah kita benar-benar memahami dan menerima bahwa sebagai anak-anak Allah, ada masa depan yang gemilang dan penuh harapan yang menanti kita, terlepas dari seberapa singkat atau panjangnya hidup kita di dunia ini? Inilah yang seharusnya menjadi pandangan kita, dan itulah yang diajarkan oleh surat Yohanes. Menjadi anak-anak Allah berarti memiliki pandangan yang lebih besar tentang kehidupan ini, pandangan yang melampaui keadaan duniawi dan melihat pada tujuan akhir kita yang kekal.

Penyebab Ketidakbahagiaan dalam Kehidupan Kristen

Salah satu kelemahan terbesar dalam kehidupan Kristen adalah ketidakmampuan untuk sepenuhnya menyadari siapa diri kita. Banyak dari kita menghabiskan waktu dalam kehidupan Kristen dengan mengeluh, merasa tidak puas, atau tidak bahagia. Sering kali, ketidakbahagiaan ini disebabkan oleh cara kita memandang keadaan kita saat ini. Kita cenderung fokus pada hal-hal yang terjadi pada kita—kesulitan yang kita hadapi, tantangan yang datang dari dunia, atau perlakuan orang lain terhadap kita. Namun, jika kita menyadari siapa kita sebenarnya di dalam Kristus, pandangan kita akan berubah secara drastis. Sebagian besar ketidakbahagiaan kita dalam hidup ini sebenarnya dapat dilacak kembali pada kegagalan kita untuk melihat diri kita dalam terang kebenaran Alkitab.

Yohanes mengingatkan bahwa kita adalah anak-anak Allah. Jika kita benar-benar menyadari dan hidup dalam realitas ini, maka masalah yang kita hadapi dalam kehidupan ini akan terlihat dalam perspektif yang berbeda. Kita sering terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang berada tepat di depan kita, tanpa memasukkannya dalam konteks keseluruhan hidup kita sebagai anak-anak Allah yang sedang menuju kemuliaan kekal. Kegagalan kita untuk menyadari posisi kita sebagai anak-anak Allah sering kali menjadi penyebab utama dari ketidakpuasan kita.

Lebih jauh lagi, kegagalan untuk memahami identitas kita juga sering kali menjadi alasan mengapa kita gagal menjalani kehidupan Kristen dengan benar. Jika kita benar-benar memahami siapa kita di dalam Kristus, maka kita tidak akan lagi kesulitan untuk menjalani kehidupan yang benar. Orang tua sering menggunakan metode ini ketika mengajari anak-anak mereka tentang tanggung jawab moral, dengan mengatakan, "Ingat siapa kamu." Kesadaran tentang identitas kita sebagai anak-anak Allah seharusnya secara otomatis memengaruhi perilaku kita. Jika kita menyadari posisi kita sebagai anak-anak Allah, kita akan hidup sesuai dengan panggilan itu tanpa perlu dorongan eksternal.

Dasar Ajaran Perjanjian Baru

Dalam setiap ajakan untuk hidup dalam kebenaran, Perjanjian Baru selalu mendasarkannya pada pengertian tentang identitas kita sebagai orang percaya. Tidak pernah ada ajakan untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan Kristen tanpa terlebih dahulu mengingatkan kita tentang siapa kita di dalam Kristus. Para penulis Alkitab, di bawah bimbingan Roh Kudus, selalu mengajarkan doktrin terlebih dahulu sebelum memberikan nasihat praktis. Ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang identitas kita adalah fondasi dari semua kehidupan Kristen yang benar. Kita dipanggil untuk hidup dalam kebenaran, bukan karena perintah semata, tetapi karena perubahan identitas yang telah terjadi dalam diri kita melalui karya Kristus.

Perjanjian Baru juga tidak terlalu peduli dengan perilaku orang yang belum menjadi Kristen, kecuali dalam hal pertobatan. Pesan utama Injil kepada mereka yang belum percaya adalah panggilan untuk bertobat dan berpaling kepada Kristus. Hanya setelah seseorang menjadi anak Allah, Alkitab mulai menekankan pentingnya perilaku yang benar, karena identitas baru mereka dalam Kristus menuntut kehidupan yang sesuai dengan kebenaran ilahi.

Kepastian tentang Status sebagai Anak Allah

Pernyataan pertama yang terdapat dalam teks Yohanes ini adalah bahwa kita sekarang adalah anak-anak Allah. Yohanes tidak mengatakan bahwa kita akan menjadi anak-anak Allah di masa depan, melainkan kita telah menjadi anak-anak Allah saat ini. Ini adalah kebenaran yang harus kita sadari dengan sepenuh hati. Identitas kita sebagai anak-anak Allah bukanlah sesuatu yang bersifat sementara atau dapat berubah; itu adalah kenyataan yang tidak tergoyahkan. Seperti seorang anak yang selalu tetap menjadi anak dari orang tuanya, terlepas dari bagaimana perilakunya, demikian juga kita tetap menjadi anak-anak Allah, meskipun kita mungkin tidak selalu hidup sempurna. Hubungan kita dengan Allah sebagai Bapa adalah sesuatu yang tidak didasarkan pada perilaku kita, tetapi pada anugerah dan kasih karunia-Nya.

Kesadaran akan status kita sebagai anak-anak Allah membawa serta tanda-tanda khusus dalam kehidupan kita. Mereka yang benar-benar anak Allah akan merasakan adanya kehidupan baru di dalam diri mereka, kesadaran yang mendalam akan dosa, dan keinginan yang kuat untuk hidup dalam kebenaran. Mereka juga akan merasakan dorongan untuk lebih dekat kepada Allah, memiliki hasrat untuk mengenal Dia lebih dalam, dan merasa terhubung dengan sesama orang percaya. Semua ini adalah tanda bahwa kehidupan Allah telah masuk ke dalam diri kita, dan kehidupan itu menghasilkan transformasi nyata dalam cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.

Takdir Menuju Kemuliaan di Masa Depan

Pernyataan kedua dalam teks ini adalah bahwa kita tahu kita ditakdirkan untuk kemuliaan. Yohanes menulis bahwa meskipun saat ini belum tampak apa yang akan kita jadi, kita tahu bahwa ketika Kristus dinyatakan, kita akan menjadi seperti Dia. Ini memberikan kepastian bahwa masa depan kita sebagai orang percaya telah dijamin oleh janji Allah. Meskipun dunia mungkin tidak memahami atau menghargai identitas kita saat ini, kita memiliki kepastian bahwa pada saat kedatangan Kristus yang kedua, kita akan diubah menjadi serupa dengan-Nya, dan kita akan memasuki kemuliaan yang kekal bersama-Nya.

Kehidupan Kristen, seperti yang dijelaskan oleh Yohanes, adalah perjalanan menuju kemuliaan. Seperti Kristus yang melalui masa penghinaan di dunia ini sebelum memasuki kemuliaan-Nya, demikian pula kita harus melalui perjalanan yang sama. Kita mungkin mengalami penderitaan, penolakan, atau ketidakpahaman dari dunia, tetapi kita tahu bahwa kemuliaan yang dijanjikan sudah pasti. Janji ini didasarkan pada karakter Allah yang setia dan tidak pernah berubah. Janji ini juga didukung oleh kuasa Allah yang tak terbatas, yang akan memastikan bahwa semua yang telah dimulai oleh-Nya akan diselesaikan dengan sempurna.

Melihat Kristus dan Menjadi Serupa dengan-Nya

Pernyataan ketiga dalam teks ini adalah bahwa kita akan melihat Kristus sebagaimana adanya Dia, dan kita akan menjadi serupa dengan Dia. Ini adalah puncak dari harapan Kristen: melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya dan diubah menjadi serupa dengan-Nya. Pada saat Kristus datang kembali, kita tidak hanya akan melihat kemuliaan-Nya, tetapi kita juga akan diubah secara sempurna, bebas dari segala dosa, dan menerima tubuh yang dimuliakan seperti Kristus. Transformasi ini adalah hasil akhir dari pekerjaan Roh Kudus di dalam diri kita selama hidup kita di dunia ini.

Janji ini begitu luar biasa sehingga sulit untuk dipahami sepenuhnya oleh pikiran manusia. Ketika kita memikirkan bahwa kita, yang saat ini penuh dengan kelemahan dan dosa, suatu hari akan diubah menjadi serupa dengan Kristus dalam segala kemuliaan-Nya, itu memberikan kita alasan untuk hidup dengan sukacita, harapan, dan rasa syukur yang mendalam. Harapan ini seharusnya menjadi pusat dari kehidupan kita sebagai orang Kristen, memotivasi kita untuk hidup dengan cara yang layak sebagai anak-anak Allah yang ditakdirkan untuk kemuliaan kekal.


"Keajaiban Kelahiran Baru: Hidup dalam Kebenaran sebagai Anak-Anak Allah"

 

Diringkas oleh Johannis Trisfant, MTh,

dari Martyn Lloyd-Jones, 1 John vol 3

 

1Jn 2:29  Jikalau kamu tahu, bahwa Ia adalah benar, kamu harus tahu juga, bahwa setiap orang, yang berbuat kebenaran, lahir dari pada-Nya. 1Jn 3:1  Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.

 

 

Surat Rasul Yohanes dalam 1 Yohanes 2:29 hingga pasal 3 ayat 1 mengandung perenungan mendalam tentang kehidupan Kristen, relasi dengan Allah, dan keutamaan kebenaran dalam hidup seorang percaya. Dalam surat ini, Yohanes ingin memperlihatkan kepada jemaatnya suatu pergerakan baru dalam pemikiran teologis, di mana ia menyampaikan argumen yang lebih dalam mengenai identitas orang percaya sebagai anak-anak Allah. Perubahan dari pasal sebelumnya menuju bagian ini merupakan peralihan yang sangat penting, yang membawa pembaca ke dimensi yang lebih mendalam dari hubungan mereka dengan Allah. Dimulai dari pengenalan bahwa orang Kristen dipanggil untuk hidup dalam sukacita yang penuh, Yohanes kemudian membawa kita untuk memahami bagaimana kelahiran baru menjadikan kita anak-anak Allah dan bagaimana hal ini memengaruhi cara hidup kita sehari-hari.

Tujuan Surat: Sukacita Penuh

Dalam bagian awal suratnya, Yohanes telah menetapkan tema utamanya: agar orang percaya dapat mengalami “sukacita yang penuh” dalam hidup mereka, meskipun mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan penderitaan, cobaan, dan godaan. Sukacita penuh ini, seperti yang dinyatakan dalam 1 Yohanes 1:4, adalah sesuatu yang dapat dialami oleh umat Kristen ketika mereka memiliki persekutuan yang sejati dengan Allah. Yohanes, yang menulis surat ini di usia tuanya, ingin agar umat Kristen tidak hanya mengetahui tentang persekutuan dengan Allah, tetapi juga mengalami persekutuan tersebut secara mendalam sehingga mereka dapat memiliki kebahagiaan yang tidak tergantung pada keadaan dunia.

Untuk mencapai sukacita ini, Yohanes menjelaskan bahwa umat Kristen harus selalu ingat bahwa mereka dapat memiliki persekutuan dengan Allah Bapa dan Anak-Nya melalui Roh Kudus. Meskipun mereka tinggal di dunia, mereka dapat tetap menikmati hubungan yang akrab dengan Allah. Namun, Yohanes juga menekankan bahwa ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjaga persekutuan ini. Kondisi-kondisi ini sangat penting agar umat Kristen dapat terus berjalan bersama Allah. Dalam pasal 1 hingga pasal 2:28, Yohanes memberikan berbagai syarat ini secara rinci, yang semuanya berfokus pada satu hal utama, yaitu kebenaran.

Kebenaran sebagai Syarat Utama Persekutuan dengan Allah

Yohanes menyatakan bahwa Allah adalah terang, dan tidak ada kegelapan di dalam Dia (1 Yohanes 1:5). Oleh karena itu, umat Kristen juga harus berjalan dalam terang, yang berarti hidup dalam kebenaran. Menjaga perintah-perintah Allah, mengasihi saudara-saudara seiman, dan tidak mencintai dunia merupakan aspek-aspek penting dari kehidupan yang benar. Yohanes memperingatkan bahwa cinta kepada dunia akan menjauhkan kita dari persekutuan dengan Allah, karena dunia ini dipenuhi dengan godaan-godaan yang bisa merusak iman kita. Oleh karena itu, hidup dalam kebenaran adalah dasar utama bagi orang Kristen yang ingin mempertahankan hubungan yang dekat dengan Allah.

Yohanes menjelaskan bahwa tanpa kebenaran, persekutuan dengan Allah tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dia maksudkan bukan hanya sekadar moralitas atau etika umum, tetapi kehidupan yang mencerminkan sifat Allah sendiri. Tanpa kebenaran yang berasal dari Allah, umat manusia tidak dapat memiliki hubungan yang sejati dengan-Nya. Yohanes menegaskan bahwa setiap aspek kehidupan Kristen, mulai dari menaati perintah-perintah Allah hingga mengasihi saudara-saudara seiman, semuanya adalah manifestasi dari kebenaran ini. Kebenaran adalah fondasi yang tidak dapat diabaikan jika kita ingin berjalan dalam terang dan menikmati persekutuan dengan Allah.

Transisi ke Identitas sebagai Anak-anak Allah

Ketika tiba pada pasal 2:29, Yohanes memperkenalkan sebuah transisi penting dalam pemikirannya. Ia menyatakan, “Jika kamu tahu bahwa Dia benar, kamu juga tahu bahwa setiap orang yang berbuat kebenaran lahir dari Dia.” Ini adalah kunci baru dalam surat Yohanes, di mana ia memperkenalkan tema kelahiran baru. Dalam pernyataannya ini, Yohanes menyatakan bahwa mereka yang melakukan kebenaran menunjukkan bahwa mereka telah dilahirkan dari Allah. Konsep ini membawa pembaca ke dalam pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan mereka dengan Allah. Yohanes ingin agar umat Kristen menyadari bahwa mereka bukan hanya memiliki persekutuan eksternal dengan Allah, tetapi mereka juga memiliki hubungan internal yang vital dengan-Nya.

Kelahiran baru ini bukan hanya sekadar perubahan eksternal dalam status mereka di hadapan Allah, melainkan perubahan yang menyentuh inti kehidupan mereka. Mereka yang telah lahir dari Allah sekarang memiliki hubungan yang hidup dan organik dengan-Nya, di mana kehidupan mereka diubah oleh kasih karunia Allah. Ini adalah tema yang akan terus berkembang dalam surat Yohanes hingga pasal 4. Yohanes menekankan bahwa kelahiran baru ini membawa kita ke dalam hubungan yang sangat mendalam dengan Allah, di mana kehidupan kita harus mencerminkan kebenaran-Nya.

Kebenaran sebagai Bukti Kelahiran Baru

Yohanes kemudian melanjutkan dengan menyatakan bahwa mereka yang melakukan kebenaran adalah bukti nyata bahwa mereka telah dilahirkan dari Allah. Dia tidak mengatakan bahwa setiap orang yang lahir dari Allah akan secara otomatis melakukan kebenaran, tetapi sebaliknya, jika seseorang hidup dalam kebenaran, itu adalah tanda bahwa mereka telah lahir dari Allah. Kebenaran adalah bukti kelahiran baru. Namun, kebenaran yang dimaksud oleh Yohanes bukanlah sekadar kehidupan yang moral atau etis. Banyak orang di luar gereja yang hidup secara moral, tetapi itu bukan kebenaran dalam pengertian Alkitabiah.

Yohanes menjelaskan bahwa kebenaran yang dia maksudkan adalah kehidupan yang mencerminkan kehidupan Kristus. Hanya mereka yang telah dilahirkan kembali oleh Roh Allah yang dapat hidup dalam kebenaran ini. Khotbah di Bukit, misalnya, adalah standar hidup yang tidak mungkin dicapai oleh manusia alamiah. Hidup Kristen yang sejati adalah hidup yang hanya mungkin dijalani oleh mereka yang telah menerima hidup baru melalui kelahiran kembali. Oleh karena itu, Yohanes menegaskan bahwa jika seseorang mengaku sebagai anak Allah, tetapi hidup dalam dosa dan melanggar perintah-perintah Allah, maka pengakuan itu adalah palsu. Hidup dalam dosa adalah tanda bahwa seseorang bukanlah anak Allah, melainkan anak Iblis.

Perenungan tentang Kasih Allah dan Identitas sebagai Anak-anak Allah

Sebelum melanjutkan dengan argumennya tentang bagaimana kelahiran baru mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang percaya, Yohanes berhenti sejenak di awal pasal 3 untuk merenungkan betapa luar biasanya kenyataan bahwa kita disebut sebagai anak-anak Allah. Yohanes menggunakan seruan yang penuh kekaguman: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah; dan memang kita adalah anak-anak Allah.” Di sini, Yohanes mengajak pembaca untuk sejenak berhenti dan merenungkan betapa besar kasih Allah yang telah diberikan kepada mereka.

Yohanes menyatakan bahwa kasih Allah bukan hanya dinyatakan melalui pengampunan dosa, tetapi juga melalui adopsi ilahi, di mana Allah mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Ini bukan sekadar hubungan legal, tetapi sebuah hubungan organik yang hidup, di mana kita berbagi dalam hidup Allah sendiri. Yohanes ingin agar pembaca menyadari betapa istimewanya status mereka sebagai anak-anak Allah. Mereka yang dilahirkan kembali oleh Roh Allah sekarang memiliki hak-hak istimewa sebagai anak-anak Allah, termasuk hak untuk menikmati hubungan yang intim dengan Bapa dan mewarisi kehidupan kekal.

Kasih Allah yang diberikan kepada kita adalah kasih yang luar biasa, kasih yang tidak bisa dipahami oleh pikiran manusia. Yohanes mengingatkan bahwa dunia tidak akan memahami identitas kita sebagai anak-anak Allah, sebagaimana dunia juga tidak mengenali Yesus sebagai Anak Allah. Ada misteri yang dalam di sini, di mana dunia tidak mampu memahami kehidupan ilahi yang ada dalam diri orang percaya. Yohanes menjelaskan bahwa dunia tidak mengenal kita karena dunia tidak mengenal Allah. Sama seperti dunia tidak mengenali Kristus ketika Dia datang ke dunia, dunia juga tidak akan mengenali kita sebagai anak-anak Allah.

Anugerah Kelahiran Baru dan Hidup dalam Kebenaran

Sebagai anak-anak Allah, kita tidak hanya memiliki hubungan yang legal dengan Allah, tetapi juga berbagi dalam sifat ilahi-Nya. Yohanes menekankan bahwa kita telah menerima hidup Allah melalui kelahiran baru, yang membuat kita berbeda secara mendasar dari dunia. Kelahiran baru ini bukan hanya tentang perubahan status di hadapan Allah, tetapi perubahan hidup yang nyata, di mana kehidupan Allah sekarang ada di dalam diri kita. Sebagai anak-anak Allah, kita dipanggil untuk hidup dalam kebenaran, yang merupakan tanda nyata dari kehidupan ilahi yang ada di dalam diri kita.

Yohanes kemudian melanjutkan dengan mengajak pembaca untuk merenungkan betapa besar kasih Allah yang telah diberikan kepada mereka. Kasih ini adalah kasih yang mengagumkan, di mana Allah tidak hanya mengampuni dosa-dosa kita, tetapi juga mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya. Kasih ini begitu besar sehingga sulit dipahami oleh pikiran manusia. Yohanes mengingatkan bahwa pengorbanan Kristus di kayu salib adalah bukti terbesar dari kasih Allah kepada kita. Kristus datang ke dunia, menderita, dan mati untuk kita, agar kita dapat menjadi anak-anak Allah dan mewarisi hidup kekal bersama-Nya.

Akhirnya, Yohanes mengajak pembaca untuk merenungkan betapa menakjubkannya kasih Allah yang telah diberikan kepada mereka. Kasih ini adalah kasih yang melampaui segala pemahaman manusia. Kasih ini bukan hanya kasih yang dinyatakan secara eksternal, tetapi kasih yang telah diberikan kepada kita secara pribadi dan mendalam. Allah telah menanamkan hidup-Nya di dalam diri kita, sehingga kita sekarang dapat berbagi dalam sifat ilahi-Nya. Kasih ini adalah kasih yang tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh dunia, tetapi kasih ini adalah kenyataan yang nyata bagi setiap orang percaya.

 

 

Diringkas oleh Johannis Trisfant, MTh,

dari Martyn Lloyd-Jones, 1 John vol 3