Rabu, 06 November 2024

Kekudusan Ranjang (Ibrani 13:4)

 

Ibr  13:4  Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.


Pdt. Johannis Trisfant, MTh


Penulis kitab Ibrani dalam Ibrani 13:4 memberikan pengajaran yang mendalam mengenai pentingnya menghormati dan menjaga kesucian pernikahan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kudus yang dituntut dari setiap orang percaya. Dalam ayat ini, penulis tidak hanya menyerukan untuk menghormati pernikahan sebagai sebuah institusi, tetapi juga memberikan peringatan yang sangat serius bahwa Allah akan menghakimi mereka yang melanggar kesucian ikatan pernikahan. Penulis ingin menekankan bahwa pernikahan bukan hanya sekadar ikatan emosional atau perjanjian sosial antara dua individu, tetapi merupakan sebuah perjanjian yang kudus di hadapan Allah yang mengandung tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial. Penekanan ini penting karena pernikahan mencerminkan kasih setia Allah kepada umat-Nya, dan dengan demikian, setiap orang Kristen dipanggil untuk menghormati pernikahan sebagai wujud ketaatan kepada kehendak Allah.

Pada masa itu, pemikiran dan pandangan mengenai pernikahan di kalangan masyarakat Yunani-Romawi sangat berbeda dari pandangan Kristen. Dalam budaya Yunani-Romawi, pernikahan sering kali tidak diiringi oleh komitmen penuh, terutama di kalangan pria. Kesetiaan pernikahan sering kali tidak dijunjung tinggi, dan norma sosial memberikan kelonggaran bagi pria untuk memiliki hubungan seksual di luar pernikahan, baik dengan selir atau budak. Bagi pria dalam budaya Yunani-Romawi, berhubungan dengan wanita selain istri sering kali tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap ikatan pernikahan, melainkan sebagai bagian dari kebebasan dan hak mereka. Bahkan, memiliki hubungan tambahan di luar pernikahan bisa dianggap sebagai tanda status sosial atau kekuasaan, sementara istri dianggap lebih sebagai penjaga rumah tangga atau penerus keturunan.

Selain itu, di dalam komunitas Yahudi, juga terdapat pandangan yang berbeda mengenai pernikahan dan kesetiaan dalam ikatan pernikahan. Beberapa pemimpin Yahudi mulai memberikan pengajaran bahwa perceraian diperbolehkan dalam situasi-situasi tertentu, yang berbeda dari ajaran Yahudi tradisional yang menekankan pentingnya kesetiaan penuh dalam pernikahan. Di sisi lain, beberapa kelompok asketis di kalangan Yahudi maupun Kristen menganggap pernikahan sebagai halangan bagi kesucian spiritual. Mereka berpendapat bahwa hubungan seksual atau segala hal yang berkaitan dengan tubuh adalah najis, sehingga mereka lebih memilih hidup dalam selibat. Pandangan ini bahkan mempengaruhi beberapa orang Kristen awal, yang melihat bahwa selibat adalah cara hidup yang lebih tinggi, dan pernikahan hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu menahan diri.

Namun, penulis kitab Ibrani menentang pandangan-pandangan ini dengan sangat tegas. Dia mengajarkan bahwa pernikahan adalah anugerah yang kudus dari Allah, yang seharusnya dihormati oleh semua orang, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Dengan demikian, nas ini merupakan pengingat bahwa pernikahan bukanlah penghalang bagi kesucian atau kedewasaan rohani, tetapi justru merupakan panggilan hidup yang kudus yang harus dijalani dengan penuh rasa hormat, tanggung jawab, dan kesetiaan. Penulis mengajarkan bahwa semua orang, tanpa kecuali, dipanggil untuk menghormati pernikahan dan menjaga kemurniannya sebagai wujud dari kehidupan yang benar di hadapan Tuhan.

Penulis menggunakan istilah “ranjang pernikahan yang tidak tercemar” sebagai simbol yang menekankan pentingnya menjaga kesucian hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan. Istilah ini mengacu pada konsep bahwa hubungan intim dalam pernikahan adalah sesuatu yang diberkati oleh Tuhan dan merupakan ekspresi kasih yang murni antara suami dan istri. Ranjang pernikahan adalah tempat yang seharusnya dihormati dan dijaga dari segala bentuk dosa seksual seperti perzinahan dan percabulan. Dalam budaya Yahudi, ranjang pernikahan dianggap sebagai simbol kesucian, di mana pasangan dapat mengungkapkan kasih mereka dalam ikatan yang sah dan diberkati oleh Tuhan. Istilah ini juga menunjukkan bahwa segala bentuk hubungan di luar ikatan pernikahan akan mencemarkan apa yang telah Tuhan tetapkan sebagai kudus. Penulis Ibrani ingin menekankan bahwa hubungan seksual adalah sah dan kudus hanya dalam ikatan pernikahan, dan hubungan di luar itu adalah dosa yang menajiskan ikatan pernikahan.

Lebih jauh lagi, penulis memberikan peringatan tegas bahwa Allah akan menghakimi orang yang melanggar kesucian pernikahan. Hal ini menggarisbawahi bahwa dosa-dosa yang mencemarkan pernikahan, seperti perzinahan dan percabulan, akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Allah yang adil. Dalam konteks Perjanjian Lama, perzinahan dipandang sebagai dosa yang sangat serius, yang bahkan bisa dihukum mati. Perintah “Jangan berzinah” dalam Sepuluh Perintah Allah menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesetiaan dalam pernikahan sebagai bagian dari ketaatan kepada Tuhan. Perintah ini dimaksudkan untuk melindungi kesucian hubungan pernikahan serta menjaga ketertiban dan keharmonisan dalam komunitas. Perzinahan tidak hanya mengkhianati pasangan, tetapi juga merusak tatanan sosial dalam komunitas dan melanggar ketetapan Tuhan.

Penulis tidak hanya berbicara kepada mereka yang menikah, tetapi juga menyerukan kepada seluruh jemaat, termasuk mereka yang belum menikah, untuk menghormati pernikahan. Panggilan untuk menghormati pernikahan yang disampaikan kepada semua orang ini menunjukkan bahwa setiap anggota jemaat, baik yang sudah menikah maupun belum menikah, memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mendukung kesucian pernikahan. Menghormati pernikahan bukan hanya berarti menjaga kesetiaan dalam hubungan sendiri, tetapi juga menunjukkan sikap hormat terhadap pernikahan orang lain, termasuk menahan diri dari tindakan-tindakan yang dapat merusak pernikahan orang lain. Ini adalah panggilan untuk hidup dalam integritas dan menghormati ikatan suci pernikahan sebagai bagian dari komitmen bersama dalam komunitas Kristen.

Dalam konteks zaman sekarang, nas ini sangat relevan di tengah tingginya angka perceraian dan berbagai tantangan besar yang dihadapi oleh pasangan yang menikah. Kehidupan modern yang penuh dengan tekanan pekerjaan, masalah keuangan, dan tuntutan hidup sering kali menguji kesetiaan dalam pernikahan. Banyak pasangan Kristen menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan hubungan mereka di tengah kesibukan yang padat dan gangguan dari dunia digital yang sering kali merusak keintiman dalam hubungan. Di masa kini, di mana budaya sering kali mengabaikan nilai-nilai kesetiaan dan komitmen dalam pernikahan, panggilan untuk menghormati pernikahan dan menjaga kesuciannya menjadi sangat penting bagi orang Kristen. Penulis Ibrani memberikan pengingat bahwa pernikahan Kristen bukan hanya ikatan emosional atau perjanjian sosial, tetapi adalah panggilan yang kudus dan sakral yang harus dijalani dengan penuh hormat sebagai kesaksian bagi dunia tentang kasih Allah yang setia dan abadi.

Selain itu, penulis juga menunjukkan pentingnya peran gereja dalam mendukung pasangan yang menikah. Gereja dipanggil untuk menjadi tempat di mana pasangan yang menikah dapat menemukan dukungan dalam menjaga hubungan mereka. Namun, di beberapa gereja, tuntutan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan pelayanan sering kali bisa membebani pasangan yang menikah, yang terutama memiliki anak kecil dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengurus keluarga. Banyak pasangan mungkin merasa terbebani dengan kegiatan gereja yang padat, yang dapat mengurangi waktu berkualitas yang seharusnya mereka habiskan bersama keluarga. Penulis Ibrani mengingatkan bahwa gereja yang bijaksana harus memberikan ruang dan dukungan bagi pasangan untuk membangun hubungan yang kokoh di rumah. Gereja harus memperhatikan agar tuntutan pelayanan tidak sampai mengganggu keharmonisan dan kesejahteraan keluarga.

Dengan mendukung pasangan untuk membangun hubungan yang sehat, gereja juga membantu mewujudkan panggilan hidup kudus yang Tuhan kehendaki bagi umat-Nya. Keluarga yang kuat adalah fondasi dari gereja yang kuat, dan gereja harus menyadari bahwa mendukung pasangan yang menikah untuk hidup dalam kesetiaan adalah bagian dari pelayanan kepada Tuhan. Gereja yang menghormati pernikahan akan menguatkan komunitas dan memberikan kesaksian yang baik bagi dunia. Dengan demikian, penghormatan terhadap pernikahan bukan hanya merupakan tanggung jawab pribadi tetapi juga tanggung jawab komunitas gereja.

Penulis kitab Ibrani menyampaikan bahwa Allah akan menghakimi mereka yang melanggar ikatan pernikahan. Peringatan ini mengingatkan kita bahwa setiap tindakan yang mencemarkan pernikahan, baik melalui perzinahan maupun dosa seksual lainnya, akan berhadapan dengan penghakiman Allah. Dalam perspektif Alkitab, perzinahan adalah dosa yang melawan Allah dan merusak kesucian yang diberikan Tuhan kepada pernikahan. Tindakan tidak setia dalam pernikahan bukan hanya melukai pasangan tetapi juga merusak hubungan manusia dengan Tuhan yang telah menetapkan pernikahan sebagai panggilan yang kudus. Allah sebagai Hakim yang adil akan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang memilih untuk hidup dalam dosa dan mengabaikan panggilan untuk hidup dalam kesucian.

Pada akhirnya, penghormatan terhadap pernikahan dan menjaga kesucian seksual adalah bagian integral dari ibadah kepada Tuhan. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang kudus, dan umat-Nya dipanggil untuk hidup dalam kekudusan, termasuk dalam kehidupan pernikahan. Penulis Ibrani menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kesucian pernikahan bukan hanya tindakan yang mencemarkan hubungan pribadi, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap kasih dan kebenaran yang Tuhan kehendaki untuk umat-Nya. Dalam perspektif penulis, hidup yang kudus bukan hanya soal mematuhi peraturan, tetapi adalah panggilan untuk hidup dalam kebenaran dan kasih, mencerminkan kesetiaan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam ikatan pernikahan.

Sebagai komunitas iman, gereja memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi teladan dalam kehidupan yang menghormati pernikahan dan menjaga kesucian. Setiap anggota komunitas dipanggil untuk menjadi contoh hidup dalam menghormati ikatan pernikahan, baik dalam perkataan, sikap, maupun perbuatan. Dengan memandang pernikahan sebagai anugerah yang kudus, komunitas Kristen memberikan kesaksian hidup yang kuat kepada dunia mengenai nilai-nilai kasih dan kesetiaan yang Tuhan tetapkan.



Pdt. Johannis Trisfant, MTh


 


Tidak ada komentar: