Ibr 13:4 Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan
janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah
akan dihakimi Allah.
Pdt. Johannis Trisfant, MTh
Penulis kitab Ibrani dalam Ibrani 13:4 memberikan
pengajaran yang mendalam mengenai pentingnya menghormati dan menjaga kesucian
pernikahan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kudus yang dituntut dari
setiap orang percaya. Dalam ayat ini, penulis tidak hanya menyerukan untuk
menghormati pernikahan sebagai sebuah institusi, tetapi juga memberikan
peringatan yang sangat serius bahwa Allah akan menghakimi mereka yang melanggar
kesucian ikatan pernikahan. Penulis ingin menekankan bahwa pernikahan bukan hanya
sekadar ikatan emosional atau perjanjian sosial antara dua individu, tetapi
merupakan sebuah perjanjian yang kudus di hadapan Allah yang mengandung
tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial. Penekanan ini penting karena
pernikahan mencerminkan kasih setia Allah kepada umat-Nya, dan dengan demikian,
setiap orang Kristen dipanggil untuk menghormati pernikahan sebagai wujud
ketaatan kepada kehendak Allah.
Pada masa itu, pemikiran dan pandangan mengenai
pernikahan di kalangan masyarakat Yunani-Romawi sangat berbeda dari pandangan
Kristen. Dalam budaya Yunani-Romawi, pernikahan sering kali tidak diiringi oleh
komitmen penuh, terutama di kalangan pria. Kesetiaan pernikahan sering kali
tidak dijunjung tinggi, dan norma sosial memberikan kelonggaran bagi pria untuk
memiliki hubungan seksual di luar pernikahan, baik dengan selir atau budak.
Bagi pria dalam budaya Yunani-Romawi, berhubungan dengan wanita selain istri
sering kali tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap ikatan pernikahan,
melainkan sebagai bagian dari kebebasan dan hak mereka. Bahkan, memiliki
hubungan tambahan di luar pernikahan bisa dianggap sebagai tanda status sosial
atau kekuasaan, sementara istri dianggap lebih sebagai penjaga rumah tangga
atau penerus keturunan.
Selain itu, di dalam komunitas Yahudi, juga
terdapat pandangan yang berbeda mengenai pernikahan dan kesetiaan dalam ikatan
pernikahan. Beberapa pemimpin Yahudi mulai memberikan pengajaran bahwa
perceraian diperbolehkan dalam situasi-situasi tertentu, yang berbeda dari
ajaran Yahudi tradisional yang menekankan pentingnya kesetiaan penuh dalam
pernikahan. Di sisi lain, beberapa kelompok asketis di kalangan Yahudi maupun
Kristen menganggap pernikahan sebagai halangan bagi kesucian spiritual. Mereka
berpendapat bahwa hubungan seksual atau segala hal yang berkaitan dengan tubuh
adalah najis, sehingga mereka lebih memilih hidup dalam selibat. Pandangan ini
bahkan mempengaruhi beberapa orang Kristen awal, yang melihat bahwa selibat
adalah cara hidup yang lebih tinggi, dan pernikahan hanya diperuntukkan bagi
mereka yang tidak mampu menahan diri.
Namun, penulis kitab Ibrani menentang
pandangan-pandangan ini dengan sangat tegas. Dia mengajarkan bahwa pernikahan
adalah anugerah yang kudus dari Allah, yang seharusnya dihormati oleh semua
orang, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Dengan demikian, nas
ini merupakan pengingat bahwa pernikahan bukanlah penghalang bagi kesucian atau
kedewasaan rohani, tetapi justru merupakan panggilan hidup yang kudus yang
harus dijalani dengan penuh rasa hormat, tanggung jawab, dan kesetiaan. Penulis
mengajarkan bahwa semua orang, tanpa kecuali, dipanggil untuk menghormati
pernikahan dan menjaga kemurniannya sebagai wujud dari kehidupan yang benar di
hadapan Tuhan.
Penulis menggunakan istilah “ranjang pernikahan
yang tidak tercemar” sebagai simbol yang menekankan pentingnya menjaga kesucian
hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan. Istilah ini mengacu pada konsep
bahwa hubungan intim dalam pernikahan adalah sesuatu yang diberkati oleh Tuhan
dan merupakan ekspresi kasih yang murni antara suami dan istri. Ranjang
pernikahan adalah tempat yang seharusnya dihormati dan dijaga dari segala
bentuk dosa seksual seperti perzinahan dan percabulan. Dalam budaya Yahudi, ranjang
pernikahan dianggap sebagai simbol kesucian, di mana pasangan dapat
mengungkapkan kasih mereka dalam ikatan yang sah dan diberkati oleh Tuhan.
Istilah ini juga menunjukkan bahwa segala bentuk hubungan di luar ikatan
pernikahan akan mencemarkan apa yang telah Tuhan tetapkan sebagai kudus.
Penulis Ibrani ingin menekankan bahwa hubungan seksual adalah sah dan kudus
hanya dalam ikatan pernikahan, dan hubungan di luar itu adalah dosa yang
menajiskan ikatan pernikahan.
Lebih jauh lagi, penulis memberikan peringatan
tegas bahwa Allah akan menghakimi orang yang melanggar kesucian pernikahan. Hal
ini menggarisbawahi bahwa dosa-dosa yang mencemarkan pernikahan, seperti
perzinahan dan percabulan, akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Allah
yang adil. Dalam konteks Perjanjian Lama, perzinahan dipandang sebagai dosa
yang sangat serius, yang bahkan bisa dihukum mati. Perintah “Jangan berzinah”
dalam Sepuluh Perintah Allah menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesetiaan
dalam pernikahan sebagai bagian dari ketaatan kepada Tuhan. Perintah ini
dimaksudkan untuk melindungi kesucian hubungan pernikahan serta menjaga
ketertiban dan keharmonisan dalam komunitas. Perzinahan tidak hanya
mengkhianati pasangan, tetapi juga merusak tatanan sosial dalam komunitas dan
melanggar ketetapan Tuhan.
Penulis tidak hanya berbicara kepada mereka yang
menikah, tetapi juga menyerukan kepada seluruh jemaat, termasuk mereka yang
belum menikah, untuk menghormati pernikahan. Panggilan untuk menghormati
pernikahan yang disampaikan kepada semua orang ini menunjukkan bahwa setiap
anggota jemaat, baik yang sudah menikah maupun belum menikah, memiliki tanggung
jawab untuk menjaga dan mendukung kesucian pernikahan. Menghormati pernikahan
bukan hanya berarti menjaga kesetiaan dalam hubungan sendiri, tetapi juga menunjukkan
sikap hormat terhadap pernikahan orang lain, termasuk menahan diri dari
tindakan-tindakan yang dapat merusak pernikahan orang lain. Ini adalah
panggilan untuk hidup dalam integritas dan menghormati ikatan suci pernikahan
sebagai bagian dari komitmen bersama dalam komunitas Kristen.
Dalam konteks zaman sekarang, nas ini sangat
relevan di tengah tingginya angka perceraian dan berbagai tantangan besar yang
dihadapi oleh pasangan yang menikah. Kehidupan modern yang penuh dengan tekanan
pekerjaan, masalah keuangan, dan tuntutan hidup sering kali menguji kesetiaan
dalam pernikahan. Banyak pasangan Kristen menghadapi berbagai tantangan dalam
mempertahankan hubungan mereka di tengah kesibukan yang padat dan gangguan dari
dunia digital yang sering kali merusak keintiman dalam hubungan. Di masa kini,
di mana budaya sering kali mengabaikan nilai-nilai kesetiaan dan komitmen dalam
pernikahan, panggilan untuk menghormati pernikahan dan menjaga kesuciannya
menjadi sangat penting bagi orang Kristen. Penulis Ibrani memberikan pengingat
bahwa pernikahan Kristen bukan hanya ikatan emosional atau perjanjian sosial,
tetapi adalah panggilan yang kudus dan sakral yang harus dijalani dengan penuh
hormat sebagai kesaksian bagi dunia tentang kasih Allah yang setia dan abadi.
Selain itu, penulis juga menunjukkan pentingnya
peran gereja dalam mendukung pasangan yang menikah. Gereja dipanggil untuk
menjadi tempat di mana pasangan yang menikah dapat menemukan dukungan dalam
menjaga hubungan mereka. Namun, di beberapa gereja, tuntutan untuk terlibat
dalam berbagai kegiatan pelayanan sering kali bisa membebani pasangan yang
menikah, yang terutama memiliki anak kecil dan membutuhkan lebih banyak waktu
untuk mengurus keluarga. Banyak pasangan mungkin merasa terbebani dengan
kegiatan gereja yang padat, yang dapat mengurangi waktu berkualitas yang
seharusnya mereka habiskan bersama keluarga. Penulis Ibrani mengingatkan bahwa
gereja yang bijaksana harus memberikan ruang dan dukungan bagi pasangan untuk
membangun hubungan yang kokoh di rumah. Gereja harus memperhatikan agar
tuntutan pelayanan tidak sampai mengganggu keharmonisan dan kesejahteraan
keluarga.
Dengan mendukung pasangan untuk membangun
hubungan yang sehat, gereja juga membantu mewujudkan panggilan hidup kudus yang
Tuhan kehendaki bagi umat-Nya. Keluarga yang kuat adalah fondasi dari gereja
yang kuat, dan gereja harus menyadari bahwa mendukung pasangan yang menikah
untuk hidup dalam kesetiaan adalah bagian dari pelayanan kepada Tuhan. Gereja
yang menghormati pernikahan akan menguatkan komunitas dan memberikan kesaksian
yang baik bagi dunia. Dengan demikian, penghormatan terhadap pernikahan bukan
hanya merupakan tanggung jawab pribadi tetapi juga tanggung jawab komunitas
gereja.
Penulis kitab Ibrani menyampaikan bahwa Allah
akan menghakimi mereka yang melanggar ikatan pernikahan. Peringatan ini
mengingatkan kita bahwa setiap tindakan yang mencemarkan pernikahan, baik
melalui perzinahan maupun dosa seksual lainnya, akan berhadapan dengan
penghakiman Allah. Dalam perspektif Alkitab, perzinahan adalah dosa yang
melawan Allah dan merusak kesucian yang diberikan Tuhan kepada pernikahan.
Tindakan tidak setia dalam pernikahan bukan hanya melukai pasangan tetapi juga
merusak hubungan manusia dengan Tuhan yang telah menetapkan pernikahan sebagai
panggilan yang kudus. Allah sebagai Hakim yang adil akan menuntut
pertanggungjawaban dari mereka yang memilih untuk hidup dalam dosa dan
mengabaikan panggilan untuk hidup dalam kesucian.
Pada akhirnya, penghormatan terhadap pernikahan
dan menjaga kesucian seksual adalah bagian integral dari ibadah kepada Tuhan.
Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang kudus, dan umat-Nya dipanggil untuk
hidup dalam kekudusan, termasuk dalam kehidupan pernikahan. Penulis Ibrani
menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap kesucian pernikahan bukan hanya tindakan
yang mencemarkan hubungan pribadi, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap
kasih dan kebenaran yang Tuhan kehendaki untuk umat-Nya. Dalam perspektif penulis,
hidup yang kudus bukan hanya soal mematuhi peraturan, tetapi adalah panggilan
untuk hidup dalam kebenaran dan kasih, mencerminkan kesetiaan Tuhan dalam
setiap aspek kehidupan, termasuk dalam ikatan pernikahan.
Sebagai komunitas iman, gereja memiliki tanggung
jawab besar untuk menjadi teladan dalam kehidupan yang menghormati pernikahan
dan menjaga kesucian. Setiap anggota komunitas dipanggil untuk menjadi contoh
hidup dalam menghormati ikatan pernikahan, baik dalam perkataan, sikap, maupun
perbuatan. Dengan memandang pernikahan sebagai anugerah yang kudus, komunitas
Kristen memberikan kesaksian hidup yang kuat kepada dunia mengenai nilai-nilai
kasih dan kesetiaan yang Tuhan tetapkan.
Pdt. Johannis Trisfant, MTh